LAJNAH BAHTSUL KUTUB (LBK)
Ummat bertanya Ulama menjawab
Selasa, 01 Mei 2012
Sekretariat : Jl. Raya Cihampelas No. 141 Bandung Barat Telp. (022)86862040
e-mail : lb.kutub@gmail.com
Nomor : 018/A/LBK/05/2012
Lampiran : Masail Diniyah
Perihal : Undangan Bahtsul Masail ke-15
Kepada Yth. :
1. Para Tokoh Pimpinan Pesantren
2. Para Cendekiawan Muslim
3. Para Kiyai & Santri se-Bandung Barat
di
Tempat
Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Puji dan syukur ke Hadlirat Allah Saw., sholawat serta salam semoga terlimpah curahkan kepada baginda alam Nabi Besar Muhammad Saw, keluarga serta para sahabatnya.
Selanjutnya, bahwa LAJNAH BAHTSUL KUTUB (LBK) bekerja sama dengan Aliansi Gerbang Cermat, NU dan GP Ansor akan menyelenggarakan Bahtsul Masail Ke-15 yang diikuti oleh para ulama se-Bandung Barat. Untuk itu kami mengundang al-mukarromiin kiranya berkenan hadir pada :
Hari : Ahad, 13 Mei 2012
Pukul : 08.00 - selesai
Tempat : Masjid Al-Irsyad Kotabaru Parahyangan Padalarang
Kab. Bandung Barat
Demi suksesnya acara tersebut kami sangat berharap kehadiran al-mukarromiin tepat pada waktunya, serta menyiapkan jawaban atas masail sebagaimana terlampir.
Demikian surat ini dibuat, semoga menjadi maklum dan terimakasih atas perhatiannya.
Wallahul Muwaffiq Ila Aqwami Thariq
Wassalamu’alaikum Wr.Wb.
Bandung Barat, 1 Mei 2012
Hormat kami
PENGURUS
LAJNAH BAHTSUL KUTUB (LBK)
HA. Saeful Mu’min
H.Hilman Farid Izzuddin
MATERI BAHTSUL MASAIL
DI AL-IRSYAD KOTABARU PARAHYANGAN PADALARANG
Ahad, 13 Mei 2012
1. DISTRIBUSI ZAKAT FITRAH KEPADA MUSTAHIQ OLEH BAZ TERTUNDA HINGGA MELEWATI HARI RAYA
a. Tashwir Masalah
Zakat fitrah adalah zakat wajib yang ditaklifkan kepada setiap orang muslim. Memberikan zakat ini kepada mustahiqnya ada yang langsung oleh muzakki ada yang melalui Badan Amil Zakat. (BAZ). Zakat yang sudah terkumpul di UPZ (Unit Pengumpulan Zakat) langsung dibagikan ke mustahiqnya pada saat itu, tetapi zakat sisa yang disetor ke UPZ Desa sampai ke BAZDA Kabupaten sejumlah kurang-lebih 15 %, pendistribusian ke mustahiqnya sudah di luar waktu 1 pekan bahkan berbulan-bulan setelah Hari Raya.
b. Pertanyaan
1) Apakah zakat fitrah yang diberikan kepada Amil Zakat sebelum shalat id, tetapi disampaikannya kepada mustahiq setelah shalat id dihukumi sah?
2) Bolehkah zakat fitrah diberikan oleh Amil Zakat kepada mustahiqnya setelah shalat id?
2. KESEPAKATAN BAYAR UTANG BER-LEBIH SEBELUM AKAD
a. Tashwir Masalah
Sebut saja A mau meminjam uang kepada B. A mengutarakan maksudnya kepada B hari Kamis bahwa ia mau pinjam uang sejumlah Rp 50.000,- dan ia sanggup membayar lebih tetapi angkanya tidak disebutkan, kemudian disetujui oleh B. Besoknya ya’ni Hari Jum’at terjadilah akad pinjam-meminjam antara A dan B atas sejumlah uang Rp. 50.000,- Pada waktu akad, A tidak mensyaratkan harus dibayar lebih, demikian pula B tidak mengulang kata-kata kesanggupannya akan membayar lebih besar dari jumlah utang.
b. Pertanyaan:
1) Apakah membayar utang lebih berdasar kesepakatan yang terjadi sebelum akad itu riba ? (Adapun pada saat akad tidak disebutkan).
2) Selanjutnya bagaimana pula hukumnya, jika pensyaratan itu datang dari B (yang meminjamkan) lalu disetujui oleh A
3) Apakah ada perbedaan hukum, antara kesepakatan membayar utang lebih yang besarannya ditentukan misalnya Rp. 60.000 dengan yang tidak ditentukan?
4) Bagaimana jika pensyaratan kinayah itu itu diucapkan oleh A (yang meminjam) pada waktu akad( fi shulbil aqdi) ?
5) Adakah perbedaan hukum antara pensyaratan berupa kinayah misalnya B berkata “ Ya teu nanaon asal kudu ngarti bae engke mayar hutangna..” dengan pensyaratan yang jelas misal A berkata : “ Asal kudu mayar Rp. 60.000,- ?
6) Bagaimana jika A menekan B, dengan meminta lebih di saat B membayar utang, yang kemudian B rela/mengikutinya ?
3. HUKUM TIDAK MEMBAYAR PAJAK
a. Tashwir Masalah
Biaya belanja Negara besumber dari kekayaan alam negara tersebut dan iuran yang terkumpul dari warganya. Iuran inilah yang disebut dengan pajak. Oleh sebab itu ta’rif pajak adalah iuran wajib yang dipungut oleh pemerintah dari masyarakat (wajib pajak) untuk menutupi pengeluaran rutin Negara. Jika mengacu pada ayat 59 QS Al-Nisa : “ Hai orang-orang beriman taatlah kepada Allah, dan taatlah kepada Rasul dan ulil amri....” Jelas dalam ayat tersebut mengandung pengertian bahwa taat kepada ‘kebijakan’ ulil amri (pemerintah) diperintah oleh Allah Swt. Diantara aturan pemerintah ini adalah pajak.
b. Pertanyaan:
Apa hukumnya tidak membayar pajak?. Dalam hal ini apakah orang yang berstatus ‘wajib pajak’ yang tidak mau membayar pajak sudah membangkang terhadap ayat 59 QS Al-Nisa tersebut?
4. JAMA SHALAT DI ARAFAH DAN DI MINA
a. Tashwir Masalah
Hukum bergatung pada illat sebagaimana kaidah al-hukmu yaduru ma'al illah. Jama shalat illatnya adalah safar. Dan safar-nya harus safar jawaz bukan safar haram yang mencapai 2 marhalah. Mekah-Arafah jaraknya tidak mencapai 2 marhalah, tetapi sering terjadi para hujaj menjama shalat di kedua tempat ini.
b. Pertanyaan:
Bolehkah para hujjaj yang sudah menjadi mukimin di Mekah melakukan shalat jama di Arafah dan Mina?
5. MENJUAL AIR MANI BINATANG UNTUK INSEMINASI BUATAN
a. Tashwir Masalah
Pengertian inseminasi buatan intinya adalah pembuahan rekayasa oleh kerja manusia dimana sperma jantan dimasukkan ke dalam rahim betina untuk tujuan pembuahan. Inseminasi buatan biasanya terdapat pada produksi sapi. Sapi jantan diambil spermanya lalu dimasukkan ke penampung besar berisi cairan (plasma) zat tertentu, kemudian plasma ini dimasukkan kedalam alat yang disebut straw sebesar sapu lidi dan panjangnya sekitar 7-12 cm. Cara seperti ini sangat efektif karena satu kali sapi jantan mengeluarkan sperma maka bisa dihasilkan beribu-ribu straw, satu straw inilah untuk satu pembuahan sapi betina.
b. Pertanyaan:
Bolehkah menjual sperma jantan yang sudah dikemas sedemikian rupa dalam straw ini?
6. SHALAT SUNAT IHRAM HAJI ATAU UMRAH PADA WAKTU- WAKTU HARAM DI LUAR TANAH HARAM.
a. Tashwir Masalah
Shalat sunat terbagi kepada dua yaitu shalat sunat yang memiliki sebab dan shalat sunat yang tidak memiliki sebab. Shalat sunat yang memiliki sebab ada dua yaitu ada yang sebabnya mendahului ( mutaqaddim), dan ada yang sebabnya kemudian (mutaakhkhir). Untuk daerah selain tanah haram, shalat sunat yang memiliki sebab mutaakhkhir tidak boleh dilakukan pada 5 waktu haram ( yaitu; ketika matahari tepat pada titik kulminasi, sesudah asar, sesudah subuh, saat matahari tenggelam dan saat matahari terbit). Diantara shalat sunat dzi mutaakhkhir adalah shalat sunat ihram haji dan umrah
b. Pertanyaan:
1. Bolehkah shalat sunat ihram haji dilakukan di miqat pada 5 waktu haram?
2. Apakah miqat sudah termasuk tanah haram atau tanah halal?
7. PASANG KAWAT GIGI DENGAN TUJUAN PENGHIAS GIGI (TAZYIN)
a. Tashwir Masalah
Saat ini lagi ngetrend memasang kawat gigi terutama dikalangan perempuan. Setelah mereka ditanyakan tentang motifnya ternyata jawabnya macam-macam. Ada yang bertujuan agar gigi tumbuh rapih, dan ada yang hanya sekedar style atau fasion saja.
b. Pertanyaan:
Apa hukumnya pasang kawat gigi yang motifnya hanya unuk penghias gigi saja?
Catatan :
1. Soal nomor 1 s.d. 3 adalah materi bahtsul masail ke-15 di Masjid Al-Irsyad Kotabaru Parhyangan.
2. Soal nomor 4 s.d. 7 direncanakan sebagai materi bahtsul masail yang ke-16
3. Kami sagat berterima kasih apabila al-Mukarom berkenan mengajak/ menyebarkan/ menginformasikan undangan kepada para kiyai lainnya.
Jumat, 23 Maret 2012
Undangan Bahtsul Masail di PP. At-Tafsir Batujajar 14 April 2012
Sekretariat : Jl. Raya Cihampelas No. 141 Bandung Barat Telp. (022)91618652.
e-mail : lb.kutub@gmail.com
No : 017/A/LBK/04/2012
Lamp : Masail Diniyah
Perihal : Undangan Bahtsul Masail Ke-14
Kepada Yth
1. Para Tokoh Pimpinan Pesantren
2. Para Cendekiawan Muslim
3. Para Kiyai & Santri se-Bandung Barat
di
tempat
Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Puji dan syukur ke hadlirat Allah SWT, sholawat serta salam semoga dilimpah curahkan kepada baginda alam Nabi Besar Muhammad SAW, keluarga serta para sahabatnya.
Selanjutnya,kami informasikan bahwa LAJNAH BAHTSUL KUTUB (LBK) akan menyelenggarakan Bahtsul Kutub atau Bahtsul Masail para ulama se-Bandung Barat. Untuk kali ini kami mengundang al-mukarrom pada :
Hari : Sabtu, 14 April 2012
Jam : 8.00-Selesai
Tempat : PP. At-Tafsir - Kec. Batujajar
Kab. Bandung Barat
Demi suksesnya acara tersebut kami sangat berharap kehadiran al-mukarromin pada tempat dan waktunya, serta menyiapkan jawaban atas masail sebagaimana terlampir.
Demikian surat ini dibuat, semoga menjadi maklum dan terimakasih atas perhatiannya.
Wallahul Muwaffiq Ila Aqwami Thariq
Wassalamu’alaikum Wr.Wb.
Bandung Barat, 4 April 2012
Hormat kami
LAJNAH BAHTSUL KUTUB (LBK)
HA. Saeful Mu’min
H. Hilman Farid Izzuddin
MATERI BAHTSUL MASAIL
DI PONPES ATTAFSIR BATUJAJAR BANDUNG BARAT
Sabtu, 14 April 2012
1. MEMINDAHKAN TANAH WAKAF BERUBAH UKURAN
a. Tashwir masalah
Sebut saja Amir (sebagai nadhir) mendapat tanah wakaf di suatu tempat misalnya di hutan atau tempat terpencil dengan ukuran 5000 m2 untuk pesantren. Tiba-tiba Amir memiliki niat agar tanah tersebut dipindahkan ke suatu tempat yang dipandang lebih bermanfaat dan lebih prospektif, tetapi harga tanahnya lebih mahal, setelah dihitung-hitung harga 5000 m2 itu akan menjadi 2000 m2 sementara ia tidak bisa bermusyawarah dengan wakif karena sudah meninggal.
b. Pertanyaan
1) Pada dasarnya sah kah memidahkan tanah wakaf atas inisiatif nadhir, tanpa bermusyawarah dengan wakif, kerena sudah meninggal?
2) Jika jawaban no. 1 sah, bagaimana jika ukuran luasnya menjadi berkurang, tetapi dipandang lebih bermanfaat dibanding tanah asal?
2. MASBUQ SHALAT MEMBUAT JAMA’AH BARU.
a. Tashwir masalah
Pahala berjama’ah shalat akan berlipat menjadi 27 derajat dibanding shalat sendirian (munfarid). Ini adalah nash tidak ada ikhitaf di kalangan umat Islam. Atas dasar inilah banyak terjadi masbuq membuat jama’ah baru atau dengan kata lain masbuq bermakmum kepada salah satu masbuq lainnya.
b. Pertanyaan:
1) Bolehkah masbuq bermakmum kepada masbuq lainnya?
2) Jika boleh apakah ia mendapat pahala dari jamaah barunya itu
3) Jika mendapat pahala, apakah pahala atau fadilah jamaah petama masih tetap terpelihara, atau malah batal oleh jamaah baru?
4) Mana yang lebih utama (afdal), apakah membuat jamaah lagi atau disempurnakan sendiri-sendiri?
CATATAN :
1. Setiap jawaban harus disertai dengan menyebutkan ma’khad/manqul ‘anhu (sumber pengambilan/literatur )dan di akhir acara di serahkan kepada moderator.
2. Kami sangat berharap kepada al-mukarrom membawa masail lalu diserahkan kepada kami untuk dijadikan materi Bahtsul Masail berikutnya. Terimakasih
e-mail : lb.kutub@gmail.com
No : 017/A/LBK/04/2012
Lamp : Masail Diniyah
Perihal : Undangan Bahtsul Masail Ke-14
Kepada Yth
1. Para Tokoh Pimpinan Pesantren
2. Para Cendekiawan Muslim
3. Para Kiyai & Santri se-Bandung Barat
di
tempat
Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Puji dan syukur ke hadlirat Allah SWT, sholawat serta salam semoga dilimpah curahkan kepada baginda alam Nabi Besar Muhammad SAW, keluarga serta para sahabatnya.
Selanjutnya,kami informasikan bahwa LAJNAH BAHTSUL KUTUB (LBK) akan menyelenggarakan Bahtsul Kutub atau Bahtsul Masail para ulama se-Bandung Barat. Untuk kali ini kami mengundang al-mukarrom pada :
Hari : Sabtu, 14 April 2012
Jam : 8.00-Selesai
Tempat : PP. At-Tafsir - Kec. Batujajar
Kab. Bandung Barat
Demi suksesnya acara tersebut kami sangat berharap kehadiran al-mukarromin pada tempat dan waktunya, serta menyiapkan jawaban atas masail sebagaimana terlampir.
Demikian surat ini dibuat, semoga menjadi maklum dan terimakasih atas perhatiannya.
Wallahul Muwaffiq Ila Aqwami Thariq
Wassalamu’alaikum Wr.Wb.
Bandung Barat, 4 April 2012
Hormat kami
LAJNAH BAHTSUL KUTUB (LBK)
HA. Saeful Mu’min
H. Hilman Farid Izzuddin
MATERI BAHTSUL MASAIL
DI PONPES ATTAFSIR BATUJAJAR BANDUNG BARAT
Sabtu, 14 April 2012
1. MEMINDAHKAN TANAH WAKAF BERUBAH UKURAN
a. Tashwir masalah
Sebut saja Amir (sebagai nadhir) mendapat tanah wakaf di suatu tempat misalnya di hutan atau tempat terpencil dengan ukuran 5000 m2 untuk pesantren. Tiba-tiba Amir memiliki niat agar tanah tersebut dipindahkan ke suatu tempat yang dipandang lebih bermanfaat dan lebih prospektif, tetapi harga tanahnya lebih mahal, setelah dihitung-hitung harga 5000 m2 itu akan menjadi 2000 m2 sementara ia tidak bisa bermusyawarah dengan wakif karena sudah meninggal.
b. Pertanyaan
1) Pada dasarnya sah kah memidahkan tanah wakaf atas inisiatif nadhir, tanpa bermusyawarah dengan wakif, kerena sudah meninggal?
2) Jika jawaban no. 1 sah, bagaimana jika ukuran luasnya menjadi berkurang, tetapi dipandang lebih bermanfaat dibanding tanah asal?
2. MASBUQ SHALAT MEMBUAT JAMA’AH BARU.
a. Tashwir masalah
Pahala berjama’ah shalat akan berlipat menjadi 27 derajat dibanding shalat sendirian (munfarid). Ini adalah nash tidak ada ikhitaf di kalangan umat Islam. Atas dasar inilah banyak terjadi masbuq membuat jama’ah baru atau dengan kata lain masbuq bermakmum kepada salah satu masbuq lainnya.
b. Pertanyaan:
1) Bolehkah masbuq bermakmum kepada masbuq lainnya?
2) Jika boleh apakah ia mendapat pahala dari jamaah barunya itu
3) Jika mendapat pahala, apakah pahala atau fadilah jamaah petama masih tetap terpelihara, atau malah batal oleh jamaah baru?
4) Mana yang lebih utama (afdal), apakah membuat jamaah lagi atau disempurnakan sendiri-sendiri?
CATATAN :
1. Setiap jawaban harus disertai dengan menyebutkan ma’khad/manqul ‘anhu (sumber pengambilan/literatur )dan di akhir acara di serahkan kepada moderator.
2. Kami sangat berharap kepada al-mukarrom membawa masail lalu diserahkan kepada kami untuk dijadikan materi Bahtsul Masail berikutnya. Terimakasih
Selasa, 13 Maret 2012
LBK (LAJNAH BAHTSUL KUTUB): Undangan Bahtsul Masail di PP. Al-Falah Cililin, 1...
LBK (LAJNAH BAHTSUL KUTUB): Undangan Bahtsul Masail di PP. Al-Falah Cililin, 1...: Sekretariat : Jl. Raya Cihampelas No. 141 Bandung Barat Telp. (022)91618652. e-mail : lajnahbahtsulkutub@yahoo.co.id No. : 016/A/LBK/03/2...
Undangan Bahtsul Masail di PP. Al-Falah Cililin, 19 Maret 2012
Sekretariat : Jl. Raya Cihampelas No. 141 Bandung Barat Telp. (022)91618652. e-mail : lajnahbahtsulkutub@yahoo.co.id
No. : 016/A/LBK/03/2012
Lamp. : Masail Diniyah
Hal : Undangan Bahtsul Masail
Kepada Yth
1. Para Tokoh Pimpinan Pesantren
2. Para Cendekiawan Muslim
3. Para Kiyai & Santri se-Bandung Barat
di
tempat
Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Puji dan syukur ke hadlirat Allah Swt, sholawat serta salam semoga dilimpah curahkan kepada baginda alam Nabi Besar Muhammad SAW, keluarga serta para sahabatnya.
Selanjutnya, kami informasikan bahwa LAJNAH BAHTSUL KUTUB (LBK) akan menyelenggarakan Bahtsul Kutub atau Bahtsul Masail Ke 13 para ulama se-Bandung Barat. Untuk kali ini kami mengundang al-mukarrom pada :
Hari : Senin, 19 Maret 2012
Jam : 8.00-Selesai
Tempat : PP. Al-Falah Cikakak Kec. Cililin
Kab. Bandung Barat
Demi suksesnya acara tersebut kami sangat berharap kehadiran al-mukarromin pada tempat dan waktunya, serta menyiapkan jawaban atas masail sebagaimana terlampir.
Demikian surat ini dibuat, semoga menjadi maklum dan terimakasih atas perhatiannya.
Wallahul Muwaffiq Ila Aqwami Thariq
Wassalamu’alaikum Wr.Wb.
Bandung Barat, 12 Maret 2012
Hormat kami
LAJNAH BAHTSUL KUTUB (LBK)
Ketua Sekretaris
HA. Saeful Mu’min H. Hilman Farid
MATERI BAHTSUL MASAIL LBK Ke 13
DI PONPES AL-FALAH CIKAKAK CILILIN
19 Maret 2012
1. MAKMUM MENEPUK BAHU ORANG YANG AKAN DIIMAMINYA.
a. Tashwir masalah
Ketika ada orang yang sedang shalat sendiri (munfarid), lalu datang orang lain dan berdiri di belakang dengan maksud akan bermakmum, sebelum takbiratulihram dia menepuk bahu orang yang diimaminya dengan tujuan memastikan apakah dia shalat fardu atau sunnah juga sekaligus untuk memberitahu bawa dia akan bermakmum agar orang tersebut merubah niatnya menjadi imam.
b. Pertanyaan
1) Apakah benar sebelum bermakmum harus menepuk bahu dahulu dengan maksud sebagaimana tersebut dalam tashwir masalah di atas ?
2) Apakah orang yang akan dimakmumi harus merubah niatnya menjadi imam, ? Jika ia tidak merubah niat apakah dapat pahala berjama’ah atau tidak?
2. JUAL BELI JATAH ARISAN.
a. Tashwir masalah
Hamid dan Joko keduanya menjadi anggota arisan. Pada satu giliran arisan jatuh di tangan Hamid, lalu giliran tersebut dibeli oleh joko. Misalnya uang arisan yang akan diterima Hamid itu Rp.500.000,-. Tetapi sehubungan sebelum hari buka arisan Hamid sangat membutuhkan uang, lalu minta temannya Joko untuk membeli ‘giliran arisan’- nya dengan harga Rp. 450.000, jadi ada selisih Rp. 50.000. Atau kasus lain, misalnya Joko membeli giliran arisan Hamid dengan harga lebih mahal seperti selisihnya Rp.50.000, menjadi Rp.550.000.
b. Pertanyaan:
Bolehkah aqad jual beli tersebut? Bagaimana hukum membeli giliran arisan seperti contoh di atas, berdasarkan al-Quran dan al-Hadits.
3. YANG LEBIH UTAMA DI LAKUKAN SETELAH SHALAT FARDHU
a. Tashwir Masalah
Sebahagian ummat Islam selesai shalat fardu ada yang membaca wiridan dan kemudian setelah selesai baru melaksanakan shalat sunnah (bagi shalat yang ada sunnah ba’diyahnya), ada juga yang sunnah ba’diyah dulu baru kemudian wiridan.
b. Pertanyaan:
Manakah yang lebih afdhal didahulukan setelah selesai shalat fardlu, wiridan atau shalat sunnah ba’diyah?
Catatan :
1. Setiap jawaban harus disertai dengan menyebutkan ma’khad/manqul ‘anhu (sumber pengambilan/literatur )dan di akhir acara di serahkan kepada moderator.
2. Kami sangat mengharapkan kepada para al-mukarrom yang mempunyai ‘masail’ agar menyampaikan kepada kami baik lisan maupun tulisan, Selajutnya kami akan mempertimbangkan untuk dibahas pada acara-acara Bahtsul Masail berikutnya.
No. : 016/A/LBK/03/2012
Lamp. : Masail Diniyah
Hal : Undangan Bahtsul Masail
Kepada Yth
1. Para Tokoh Pimpinan Pesantren
2. Para Cendekiawan Muslim
3. Para Kiyai & Santri se-Bandung Barat
di
tempat
Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Puji dan syukur ke hadlirat Allah Swt, sholawat serta salam semoga dilimpah curahkan kepada baginda alam Nabi Besar Muhammad SAW, keluarga serta para sahabatnya.
Selanjutnya, kami informasikan bahwa LAJNAH BAHTSUL KUTUB (LBK) akan menyelenggarakan Bahtsul Kutub atau Bahtsul Masail Ke 13 para ulama se-Bandung Barat. Untuk kali ini kami mengundang al-mukarrom pada :
Hari : Senin, 19 Maret 2012
Jam : 8.00-Selesai
Tempat : PP. Al-Falah Cikakak Kec. Cililin
Kab. Bandung Barat
Demi suksesnya acara tersebut kami sangat berharap kehadiran al-mukarromin pada tempat dan waktunya, serta menyiapkan jawaban atas masail sebagaimana terlampir.
Demikian surat ini dibuat, semoga menjadi maklum dan terimakasih atas perhatiannya.
Wallahul Muwaffiq Ila Aqwami Thariq
Wassalamu’alaikum Wr.Wb.
Bandung Barat, 12 Maret 2012
Hormat kami
LAJNAH BAHTSUL KUTUB (LBK)
Ketua Sekretaris
HA. Saeful Mu’min H. Hilman Farid
MATERI BAHTSUL MASAIL LBK Ke 13
DI PONPES AL-FALAH CIKAKAK CILILIN
19 Maret 2012
1. MAKMUM MENEPUK BAHU ORANG YANG AKAN DIIMAMINYA.
a. Tashwir masalah
Ketika ada orang yang sedang shalat sendiri (munfarid), lalu datang orang lain dan berdiri di belakang dengan maksud akan bermakmum, sebelum takbiratulihram dia menepuk bahu orang yang diimaminya dengan tujuan memastikan apakah dia shalat fardu atau sunnah juga sekaligus untuk memberitahu bawa dia akan bermakmum agar orang tersebut merubah niatnya menjadi imam.
b. Pertanyaan
1) Apakah benar sebelum bermakmum harus menepuk bahu dahulu dengan maksud sebagaimana tersebut dalam tashwir masalah di atas ?
2) Apakah orang yang akan dimakmumi harus merubah niatnya menjadi imam, ? Jika ia tidak merubah niat apakah dapat pahala berjama’ah atau tidak?
2. JUAL BELI JATAH ARISAN.
a. Tashwir masalah
Hamid dan Joko keduanya menjadi anggota arisan. Pada satu giliran arisan jatuh di tangan Hamid, lalu giliran tersebut dibeli oleh joko. Misalnya uang arisan yang akan diterima Hamid itu Rp.500.000,-. Tetapi sehubungan sebelum hari buka arisan Hamid sangat membutuhkan uang, lalu minta temannya Joko untuk membeli ‘giliran arisan’- nya dengan harga Rp. 450.000, jadi ada selisih Rp. 50.000. Atau kasus lain, misalnya Joko membeli giliran arisan Hamid dengan harga lebih mahal seperti selisihnya Rp.50.000, menjadi Rp.550.000.
b. Pertanyaan:
Bolehkah aqad jual beli tersebut? Bagaimana hukum membeli giliran arisan seperti contoh di atas, berdasarkan al-Quran dan al-Hadits.
3. YANG LEBIH UTAMA DI LAKUKAN SETELAH SHALAT FARDHU
a. Tashwir Masalah
Sebahagian ummat Islam selesai shalat fardu ada yang membaca wiridan dan kemudian setelah selesai baru melaksanakan shalat sunnah (bagi shalat yang ada sunnah ba’diyahnya), ada juga yang sunnah ba’diyah dulu baru kemudian wiridan.
b. Pertanyaan:
Manakah yang lebih afdhal didahulukan setelah selesai shalat fardlu, wiridan atau shalat sunnah ba’diyah?
Catatan :
1. Setiap jawaban harus disertai dengan menyebutkan ma’khad/manqul ‘anhu (sumber pengambilan/literatur )dan di akhir acara di serahkan kepada moderator.
2. Kami sangat mengharapkan kepada para al-mukarrom yang mempunyai ‘masail’ agar menyampaikan kepada kami baik lisan maupun tulisan, Selajutnya kami akan mempertimbangkan untuk dibahas pada acara-acara Bahtsul Masail berikutnya.
Senin, 12 Maret 2012
Senin, 05 Maret 2012
KUMPULAN MASAIL YANG TELAH DIBAHAS OLEH LBK
KUMPULAN MASAIL LBK
1. TERJEMAH IJAB NIKAH
2. MENIKAHKAN ORANG GILA DENGAN ORANG GILA
3. IMAM DAN KHATIB JUM’AT DENGAN ORANG BERBEDA.
4. PAJAK
5. HUKUM ROKOK
6. SHALAT ‘ID OLEH IMAM WANITA UNTUK JAMAAH WANITA
7. AQIQAH UNTUK ORANG YANG SUDAH MENINGGAL
8. WANITA MASIH DALAM IDAH PERGI HAJI
9. MASALAH BURDAH
10. MENERIMA UANG PEMBERIAN DARI CALON
11. ZAKAT PROFESI
12. MASALAH JUMRAH
13. ISMA’UN NAFS (MEMPERDENGARKAN BACAAN SHALAT KEPADA DIRI SENDIRI)
14. KRITERIA BILANGAN 40 ORANG AHLI SHALAT JUM’AT
15. HUKUM MENYIMPAN UANG DAN BEKERJA DI BANK
16. MEMBACA TASLIM (ALAIHISSALAM) DALAM SHALAT.
17. AQAD MU’AMALAH PADA BANK KONVENSIONAL
18. PASANGAN SUAMI ISTRI MASUK ISLAM, HARUSKAH PERKAWINANNYA DIULANG?
19. WC KOMERSIL
20. KEKUATAN HUKUM ALAT BUKTI BERUPA FOTO ATAU GAMBAR VISUAL DALAM KESAKSIAN (SYAHADAH)
21. MEMBANGUN TOWR SELULER DAN PEMANCAR RADIO/TV DI ATAP MASJID
22. BERMAKMUM KEPADA IMAM BERBEDA MAZHAB
23. ZAKAT PADI BAGI PETANI YANG BERNIAT BISNIS
24. ANAK ZINA ILHAQ KEPADA SIAPA
25. PENENTUAN AWAL RAMADHAN
26. BADAN ATAU LAJNAH AMIL ZAKAT YANG TAK BER-SK PEMERINTAH
27. HUKUM KOPI LUWAK
28. SHALAT UTAQO
29. BERLEBARAN IKUT-IKUTAN
30. WAKAF SELURUH HARTA TANAH
31. QURBAN DARI UANG PEMDA
32. GANJA SEBAGAI PENYEDAP RASA
33. PEMANFAATAN MAQBARAH MUSABBALAH
34. SIFAT ‘ADALAH 2 ORANG SAKSI DALAM PERNIKAHAN
35. JUAL-BELI JATAH ARISAN.
1. TERJEMAH IJAB NIKAH
2. MENIKAHKAN ORANG GILA DENGAN ORANG GILA
3. IMAM DAN KHATIB JUM’AT DENGAN ORANG BERBEDA.
4. PAJAK
5. HUKUM ROKOK
6. SHALAT ‘ID OLEH IMAM WANITA UNTUK JAMAAH WANITA
7. AQIQAH UNTUK ORANG YANG SUDAH MENINGGAL
8. WANITA MASIH DALAM IDAH PERGI HAJI
9. MASALAH BURDAH
10. MENERIMA UANG PEMBERIAN DARI CALON
11. ZAKAT PROFESI
12. MASALAH JUMRAH
13. ISMA’UN NAFS (MEMPERDENGARKAN BACAAN SHALAT KEPADA DIRI SENDIRI)
14. KRITERIA BILANGAN 40 ORANG AHLI SHALAT JUM’AT
15. HUKUM MENYIMPAN UANG DAN BEKERJA DI BANK
16. MEMBACA TASLIM (ALAIHISSALAM) DALAM SHALAT.
17. AQAD MU’AMALAH PADA BANK KONVENSIONAL
18. PASANGAN SUAMI ISTRI MASUK ISLAM, HARUSKAH PERKAWINANNYA DIULANG?
19. WC KOMERSIL
20. KEKUATAN HUKUM ALAT BUKTI BERUPA FOTO ATAU GAMBAR VISUAL DALAM KESAKSIAN (SYAHADAH)
21. MEMBANGUN TOWR SELULER DAN PEMANCAR RADIO/TV DI ATAP MASJID
22. BERMAKMUM KEPADA IMAM BERBEDA MAZHAB
23. ZAKAT PADI BAGI PETANI YANG BERNIAT BISNIS
24. ANAK ZINA ILHAQ KEPADA SIAPA
25. PENENTUAN AWAL RAMADHAN
26. BADAN ATAU LAJNAH AMIL ZAKAT YANG TAK BER-SK PEMERINTAH
27. HUKUM KOPI LUWAK
28. SHALAT UTAQO
29. BERLEBARAN IKUT-IKUTAN
30. WAKAF SELURUH HARTA TANAH
31. QURBAN DARI UANG PEMDA
32. GANJA SEBAGAI PENYEDAP RASA
33. PEMANFAATAN MAQBARAH MUSABBALAH
34. SIFAT ‘ADALAH 2 ORANG SAKSI DALAM PERNIKAHAN
35. JUAL-BELI JATAH ARISAN.
Senin, 20 Februari 2012
SEJARAH DIDIRIKANNYA NAHDLATUL ULAMA
APA SEBENARNYA TUJUAN DIDIRIKANNYA NU?
بسم الله الرحمن الرحيم
Untuk apa dan kenapa NU didirikan? Masalah ini sering jadi bahan pertanyaan bagi orang-orang, lebih-lebih ketika ada masalah-masalah yang janggal ataupun mencengangkan bagi masyarakat, sedang masalah itu timbul atau dilakukan oleh orang-orang NU. Bahkan di kalangan NU, hatta pemimpinnya ataupun elitnya pun perlu mencurahkan tenaga dan fikiran secara tersendiri untuk menjawab ataupun menangkis pandangan orang tentang untuk apa sebenarnya NU didirikan. Sebagaimana Abdurrahman Wahid telah berupaya menulis artikel untuk menangkis sebisa-bisanya tentang pandagan para sejarawan tentang berdirinya NU.
Oleh karena itu, setelah dikemukakan upaya Gus Dur/ Abdurrahman Wahid dalam menangkis pandangan para sejarawan, maka kini pada gilirannya ditampilkan penuturan para sejarawan mengenai kenapa NU didirikan.
Karel A. Steenbrink menulis seputar berdirinya NU sebagai berikut:
Ketika di Surabaya didirikan panitia yang berhubungan dengan penghapusan khalifah di Turki[1] Kyai Haji Abdul Wahab Hasbullah (yang nantinya mendirikan NU, pen) juga menjadi anggota bersama Mas Mansur (tokoh yang masuk persyarikatan Muhammadiyah sejak 1922, pen). Beberapa rencana panitia ini untuk menghadiri muktamar dunia Islam[2] tertunda, karena terjadi peperangan Wahabi di Saudi Arabia.
Beberapa waktu kemudian muktamar tersebut terlaksana meski dalam bentuk yang berbeda. Pada saat itu Kyai Haji Abdul Wahab Hasbullah mengundurkan diri dari kepanitiaan. Pengunduran diri itu disebabkan dia tidak jadi dikirim sebagai utusan karena pengetahuan bahasa yang kurang, di samping pengalaman dunia yang tidak cukup luas. Menurut kelompok lainnya, dia tidak dikirim karena dia akan membela kemerdekaan mazhab Syafi’i di kota Mekkah yang saat itu dikuasai Wahabi. Dan memang, yang dikirim ke Mekkah hanyalah mereka yang menolak taqlid dan dicap Wahabi, termasuk di antaranya Mas Mansur[3]
Karel A Steenbrink melanjutkan tulisannya: “Abdul Wahab Hasbullah kemudian membentuk panitia sendiri yang bernama “Comite merembuk Hijaz.” Bermula dari komite ini, pada tanggal 31 Januari 1926 didirikan Nahdlatul Ulama. Nahdlatul Ulama (NU) memang muncul sebagai protes terhadap gerakan reformasi, juga dari kebutuhan untuk mempunyai organisasi yang membela mazhab Syafi’i dan menyaingi organisasi Muhammadiyah dan Al-Irsyad. Memang, tiga tahun kemudian Wahab Hasbullah bersama kawan-kawannya dari NU berangkat ke Mekkah untuk membicarakan persoalan yang berhubungan dengan ibadat dan pengajaran agama menurut mazhab Syafi’i. Pada saat itu, Raja Ibnu Saud menjanjikan tidak akan bertindak terlalu keras dan memahami keinginan NU tersebut.”[4]
Kalau ungkapan itu dikemukakan oleh peneliti Belanda, ternyata persepsi yang hampir sama ditulis pula oleh peneliti Indonesia, H Endang Saifuddin Anshari MA seperti yang ia tulis:
“Pada tanggal 31 Januari 1926 Nahdlatul Ulama didirikan di Surabaya, di bawah pimpinan Syaikh Hasyim Asy’ari, sebagai reaksi terhadap gerakan pembaharuan yang dibawa terutama oleh Muhammadiyah dan lain-lain. Usahanya antara lain memperkembangkan dan mengikuti salah satu dari keempat mazhab fiqh. Tahun 1952 memisahkan diri dari Masyumi dan sejak itu resmi menjadi Partai Politik Islam.”[5]
Kegiatan politik praktis NU mulai surut ketika memfusikan diri ke dalam PPP (Partai Persatuan Pembangunan) 1973. Lalu ditegaskan bahwa NU bukan wadah bagi kegiatan politik praktis dalam Munas (Musyawarah Nasional)nya di Situbondo Jawa Timur 1983, dan diperkuat oleh Muktamar NU 1984 yang secara eksplisit menyebut NU meninggalkan kegiatan politik praktisnya.
Dalam Muktamar ke-27 di Situbondo, NU dengan tegas menerima asas tunggal Pancasila dan menyatakan kembali kepada khittah 1926 yang berarti meninggalkan kegiatan politik praktis.[6]
Perkembangan berikutnya, pada bulan Juni 1998, PBNU memfasilitasi lahirnya PKB (Partai Kebangkitan Bangsa). Kebijakan tersebut mengundang pro dan kontra di kalangan warga NU sendiri. Akibatnya, lahirlah Partai Nahdlatul Ummat (PNU), Partai Kebangkitan Umat (PKU), dan Partasi Solidaritas Uni Nasional Indonesia (SUNI). Sementara itu, sebagian cukup besar warga NU yang lain tetap bertahan di Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Partai Golkar.
Perkembangan berikutnya lagi, Ketua Umum PBNU Abdurrahman Wahid terpilih sebagai Presiden RI. Melalui Muktamar pada Nopember 1999, Abdurrahman Wahid lengser sebagai ketua umum PBNU, yang telah dijabatnya selama 15 tahun. Kepemimpinan beralih dari ‘duet’ KH Ilyas Rucjhiat-KH Abdurrahman Wahid ke tangan KHMA Sahal Mahfudz- (Rais Aam Syuriyah PBNU)-KH Hasyim Muzadi (Ketua Umum Tanfidziyah PBNU).[7]
Musykilat seputar berdirinya NU
Kembali pada persoalan awal, Untuk melacak lebih cermat tentang sebenarnya untuk apa didirikannya NU, perlu disimak apa yang ditulis oleh Dr Deliar Noer. Menurutnya, penghapusan kekhalifahan di Turki menimbulkan kebingungan pada dunia Islam pada umumnya, yang mulai berfikir tentang pembentukan suatu khilafat baru. Masyarakat Islam Indonesia bukan saja berminat dalam masalah ini, malah merasa berkewajiban memperbincangkan dan mencari penyelesaiannya. Kebetulan Mesir bermaksud mengadakan kongres tentang khilafat pada bulan Maret 1924, dan sebagai sambutan atas maksud ini suatu Komite Khilafat didirikan di Surabaya tanggal 4 Oktober 1924 dengan ketua Wondosudirdjo (kemudian dikenal dengan nama Wondoamiseno) dari Sarekat Islam dan wakil ketua KHA Wahab Hasbullah. Kongres Al-Islam ketiga di Surabaya bulan Desember 1924 antara lain memutuskan untuk mengirim sebuah delegasi ke Kongres Kairo, terdiri dari Surjopranoto (Saerkat Islam), Haji Fachruddin (Muhammadiyah) serta KHA Wahab dari kalangan tradisi.
Tetapi kongres di Kairo itu ditunda[8], sedangkan minat orang-orang Islam di Jawa tertarik lagi pada perkembangan di Hijaz di mana Ibnu Sa’ud berhasil mengusir Syarif Husein dari Mekkah tahun 1924. Segera setelah menangani ini pemimpin Wahabi itu mulai melakukan pembersihan dalam kebiasaan praktek beragama sesuai dengan ajarannya, walaupun ia tidak melarang pelajaran mazhab di Masjid al-Haram. Tindakannya ini sebagian mendapat sambutan baik di Indonesia, tetapi sebagian juga ditolak. Tetapi dengan kemenangan Ibnu Sa’ud ini, baik Mekkah maupun Kairo berebut kedudukan khalifah.[9]
Suatu undangan dari Ibnu Sa’ud kepada kaum Islam di Indoesia untuk menghadiri kongres di Mekkah dibicarakan di kongres Al-Islam keempat di Yogyakarta (21-27 Agustus 1925) dan di kongres Al-Islam kelima di Bandung (6 Februari 1926). Kedua kongres ini kelihatannya didominasi oleh golongan pembaharu Islam. Malah sebelum kongres di Bandung suatu rapat antara organisasi-organisasi pembaharu di Cianjur, Jawa Barat (8-10 Januari 1926) telah memutuskan untuk mengirim Tjokroaminoto dari Sarekat Islam dan Kiyai Haji Mas Mansur dari Muhammadiyah ke Mekkah untuk mengikuti kongres.
Pada kongres di Bandung yang memperkuat keputusan rapat di Cianjur, KHA Abdul Wahab (Hasbullah, pen) atas nama kalangan tradisi memajukan usul-usul agar kebiasaan-kebiasaan agama seperti membangun kuburan, membaca do’a seperti dalail al-khairat[10], ajaran mazhab, dihormati oleh kepala negeri Arab yang baru dalam negaranya, termasuk di Mekkah dan Madinah. Kongres di Bandung itu tidak menyambut baik usul-usul (Wahab Hasbullah) ini, sehingga Wahab dan tiga orang penyokongnya keluar dari Komite Khilafat tersebut di atas. Wahab selanjutnya mengambil inisiatif untuk mengadakan rapat-rapat kalangan ulama Kaum Tua, mulanya ulama dari Surabaya, kemudian juga dari Semarang, Pasuruan, Lasem dan Pati. Mereka bersepakat untuk mendirikan suatu panitia yang disebut Komite Merembuk Hijaz. Komite inilah yang diubah menjadi Nahdlatul Ulama pada suatu rapat di Surabaya tanggal 31 Januari 1926. Rapat ini masih tetap menempatkan masalah Hijaz sebagai pokok pembicaran utama.[11]
Deliar Noer menjelaskan suara Kaum Tua (NU, organisasi baru muncul) sebagai berikut:
Bani Sa’ud An-Nadjdi di zaman dahulu terkenal dengan aliran Wahabi yang dipelopori oleh Muhammad bin Abdul Wahab, menurut kitab-kitab tarikh... Belum lagi diketahui dengan pasti aliran apa yang dianut Raja Sa’ud sekarang (masih Wahabi atau bermazhab empat), tetapi khabar mutawatir menyebutkan mereka merusak pada qubah-qubah, melarang Dalail al-Khairat dan sebagainya.
...Kita kaum Muslimin, meskipun kaum tua, juga ada merasa ada mempunyai hak yang berhubungan dengan tanah (suci) dalam hal agama, karena di situ ada Qiblat dan (tempat) kepergian haji kita dan beberapa bekas-bekas Nabi kita bahkan quburannya juga. Walhal, kita ada anggap Sunnat-Muakkad ziarah di mana qubur tersebut.[12]
Organiasi baru ini (NU) menekankan keterikatannya pada mazhab Syafi’i dan memutuskan untuk berusaha sungguh-sungguh guna menjaga langsungnya kebiasaan bermazhab di Mekkah dan di Indonesia. Sebaliknya dikatakan bahwa tidak terkandung maskud apapun untuk menghalangi mereka yang tidak mau mengikuti mazhab Syafi’i.
Rapat (komite Hijaz/ NU) bulan Januari 1926 itu memutuskan untuk mengirim dua orang utusan menghadap Raja Ibnu Sa’ud untuk mempersembahkan pendapat organisasi tentang masalah mazhab, serta juga mengadakan seruan kepada raja tersebut untuk mengambil langkah-langkah guna kepentingan mazhab serta memperbaiki keadaan perjalanan haji.(Utusan itu akan terdiri dari Kiyai Haji Khalil dari Lasem dan Kiyai Haji Abdul Wahab dari Surabaya. Menurut Bintang Islam, IV, 1926, No 6, hal 96-98, Nahdlatul Ulama akan meminta Ibnu Sa’ud agar:
... tidak melarang kepada siapapun orang yang menjalankan mazhab Syafi’i.
...melarang atau sehingga menyiksa barang siapa yang mengganggu atau menghalang-halangi perjalanannya mazhab Syafi’i.
...menetap adakan angkatan ziarah ke Medinah al-Munawarah dan ziarah di beberapa quburnya syuhada dan bekas-bekas mereka itu.
...tidak mengganggu orang yang menjalankan wirid zikir yang benar atau wirid membaca Dalail al-Khairat atau Burdah atau mengaji kitab fiqh mazhab Syafi’i, seperti Tuhfah, Nihayah, Bajah.
... memelihara qubur Rasulullah saw sebagaimana yang sudah-sudah.
...jangan sampai merusak qubah-qubahnya syuhada...dan qubahnya aulia atau ulama...
...mengadakan tarif biaya barang-barang atau orang-orang yang masuk pada pelabuhan Jeddah dan tarif ongkos-ongkosnya orang haji mulai Jeddah terus Madinah...
...melarang Syeikh-syeikh haji Mekkah turun (datang) ke Tanah Jawa perlu mencari jama’ah haji sebab jalan yang demikian itu menghilangkan kehebatan Tanah Mekah dan kemudian umumnya orang-orang Mekkah, serta menjadikan tambahnya ongkos-ongkos...., lebih utama dalam pemerintahan mengadakan satu Komite pengurus haji di Mekkah).[13]
Suatu odiensi dengan Raja Ibnu Sa’ud juga diminta dengan perantaraan Konsulat Belanda di Jeddah, tetapi kedua orang utusan itu tak dapat berangkat karena terlambat memesan tempat di kapal. Sebagai gantinya Nahdlatul Ulama mengawatkan isi keputusan rapat mereka kepada kepala negara Saudi dengan tambahan permintaan agar isi keputusan ini dapat dimasukkan ke dalam undang-undang Hijaz.
Tidak ada jawaban terhadap permintaan ini. Dalam pada itu Nahdlatul Ulama beranggapan bahwa kongres Islam di Mekkah tahun 1926 yang dihadiri oleh Tjokroaminoto dan Mansur sebagai suatu “kegagalan” oleh sebab itu tidak ada sebuah pun masalah agama dibicarakan.
Tak lama sesudah kongres Al-Islam keenam di Surabaya dalam bulan September 1926 (kongres ini mengubah kedudukannya menjadi cabang kongres Islam di Mekkah), Nahdlatul Ulama melahirkan sikap tidak setujunya dengan kongres tersebut serta terhadap pemerintahan Ibnu Sa’ud. Organisasi ini (NU) malah menghasut kaum Muslimin agar membenci ajaran Wahabi serta penguasanya di Tanah Suci, dan menyarankan orang-orang agar jangan pergi naik haji.[14]
Tetapi pada tahun berikutnya Nahdlatul Ulama mengutus delegasi ke Mekkah. Pada tanggal 27 Maret 1928 Nahdlatul Ulama mengumumkan bahwa Abdul Wahab dan Ustadz Ahmad Ghanaim Al-Amir (Al-Misri) akan pergi ke Mekkah sebagai perutusan mereka. Dalam bulan itu juga keduanya berangkat; Abdul Wahab singgah di Singapur untuk mempropagandakan pendiriannya di kalangan orang Islam di Pulau itu, dan sampai di Tanah Suci tanggal 17 April 1928. Pada tanggal 13 Juni 1928 mereka diterima oleh Raja. Pada kesempatan ini kedua utusan tersebut juga meminta Raja Ibnu Sa’ud agar membuat hukum yang tetap di Hijaz. Mereka mohon jawaban terhadap seruan mereka.
Dalam jawabannya, berupa surat, Raja mengatakan bahwa perbaikan di Hijaz memang merupakan kewajiban tiap pemerintahan di negeri itu. Ia menambahkan akan memperbaiki keadaan perjalanan haji sejauh perbaikan ini tidak melanggar ketentuan Islam. Ia juga sependapat bahwa kaum Muslimin bebas dalam menjalankan poraktek agama dan keyakinan mereka, kecuali urusan yang Tuhan Allah mengharamkan dan tiada terdapat sesuatu dalil dari Kitab-Nya Tuhan Allah dan tiada sunnat Rasulullah saw, dan tidak ada dalam mazhabnya orang dulu-dulu yang saleh-saleh, dan tidak dari sabda salah satu imam empat.[15]
Surat resmi balasan Raja Saudi kepada NU
Untuk menghindari berbagai interpretasi dari berita-berita yang berkembang tentang isi surat Raja Ibn Sa’ud, baik dari kalangan NU maupun non NU, maka di sini dikutip secara utuh surat resmi Raja Saudi kepada NU:
بسم الله الرحمن الرحيم
KERAJAAN HIJAZ, NEJD DAN SEKITARNYA
Nomor: 2082 – Tanggal 24 Dzulhijjah 1346H.
Dari : Abdul Aziz bin Abdur Rahman Al-Faisal
Kepada Yth. Ketua Organisasi Nahdlatul Ulama di Jawa
Syaikh Muhammad Hasyim Asy’ari dan Sekretarisnya Syaikh Alawi bin Abdul Aziz ( semoga Allah melindungi mereka).
السلام عليكم ورحمة الله وبركاته.
Surat saudara tertanggal 5 Syawwal 1346H telah sampai kepada kami. Apa yang saudara sebutkan telah kami fahami dengan baik, terutama tentang rasa iba saudara terhadap urusan ummat Islam yang menjadi perhatian suadara, dan delegasi yang saudara tugaskan yaitu H. Abdul Wahab, Sekretaris I PBNU, dan Ustadz Syaikh Ahmad Ghanaim Al-Amir, Penasihat PBNU telah kami terima dengan membawa pesan-pesan dari saudara.
Adapun yang berkenaan dengan usaha mengatur wilayah Hijaz, maka hal itu merupakan urusan dalam negeri Kerajaan Saudi Arabia, dan Pemerintah dalam hal itu berusaha semaksimal mungkin untuk memberikan segala kemudahan bagi jemaah haji di Tanah Suci, dan tidak pernah melarang seorang pun untuk melakukan amal baik yang sesuai dengan Syari’at Islam.
Adapun yang berkenaan dengan kebebasan orang, maka hal itu adalah merupakan suatu kehormatan, dan alhamdulillah, semua Ummat Islam bebas melakukan urusan mereka, kecuali dalam hal-hal yang diharamkan Allah, dan tidak ada dalil yang menghalalkan perbuatan tersebut, baik dari Al-Qur’an, Sunnah, Mazhab Salaf Salih dan dari pendapat Imam empat Mazhab. Segala hal yang sesuai dengan ketentuan tersebut, kami lakukan dan kami laksanakan, sedang hal-hal yang menyelisihinya, maka tidak boleh taat untuk melakukan perbuatan maksiat kepada Allah Maha Pencipta.
Tujuan kita sebenarnya adalah da’wah kepada apa yang dalam Kitabullah dan Sunnah Rasulullah saw dan inilah agama yang kami lakukan kepada Allah. Alhamdulillah kami berjalan sesuai dengan faham ulama Salaf yang Salih, mulai dari Sahabat Nabi hingga Imam empat Mazhab.
Kami memohon kepada Allah semoga memberi taufiq kepada kita semua ke jalan kebaikan dan kebenaran serta hasil yang baik. Inilah yang perlu kami jelaskan. Semoga Allah melindungi saudara semua.
السلام عليكم ورحمة الله وبركاته.
Tanda tangan dan stempel[16]
Demikianlah surat Raja Abdul Aziz membalas surat Ketua PBNU, 13 Juni 1928, 24 Dzulhijjah 1346H.
Masalah Kitab Dalail al-Khairat
Nahdlatul Ulama, baik secara perorangan kiyai-kiyainya maupun secara organisasi, dalam sejarahnya telah dengan gigih mempertahankan wiridan dengan membaca Kitab Dalail al-Khairat. “Perjuangan” mereka itu bukan hanya di Indonesia di depan kalangan kaum pembaharu, namun bahkan sampai ke Raja Saudi dengan jalan mengirimkan surat yang di antara isinya mempertahankan wiridan dari kitab karangan orang mistik./ shufi dari Afrika Utara, Al-Jazuli itu. Meskipun demikian, kaum pembaharu di Indonesia tidak menggubris upaya-upaya kaum Nahdliyin/ NU itu. Demikian pula Raja Saudi tidak menjawabnya secara khusus tentang Kitab Dalail al-Khairat itu.
Untuk memudahkan pembaca, maka di sini diturunkan fatwa tentang boleh tidaknya membaca atau mewiridkan Kitab Dalail al-Khairat itu dari Lajnah Daimah kantor Penelitian Ilmiyah dan Fatwa di Riyadh. Ada pertanyaan dan kemudian ada pula jawabannya, dikutip sebagai berikut:
Soal kelima dari Fatwa nomor 2392:
Soal 5: Apa hukum wirid-wirid auliya’ (para wali) dan shalihin (orang-orang shalih) seperti mazhab Qadyaniyah dan Tijaniyah dan lainnya? Apakah boleh memeganginya ataukah tidak, dan apa hukum Kitab Dalail al-Khairat?
Jawab 5: Pertama: Telah terdapat di dalam Al-Qur’an dan Al-Hadits nash-nash (teks) yang mengandung do’a-do’a dan dzikir-dzikir masyru’ah (yang disyari’atkan). Dan sebagian ulama telah mengumpulkan satu kumpulan do’a dan dzikir itu, seperti An-Nawawi dalam kitabnya al-Adzkar , Ibnu as-Sunni dalam Kitab ‘Amalul Yaum wallailah, dan Ibnul Qayyim dalam Kitab Al-Wabil As-Shoib, dan kitab-kitab sunnah yang mengandung bab-bab khusus untuk do’a-do’a dan dzikir-dzikir, maka wajib bagimu merujuk padanya.
Kedua: Auliya’ (para wali) yang shalih adalah wali-wali Allah yang mengikuti syari’at-Nya baik secara ucapan, perbuatan, maupun i’tikad (keyakinan). Dan adapun kelompok-kelompok sesat seperti At-Tijaniyyah maka mereka itu bukanlah termasuk auliya’ullah (para wali Allah). Tetapi mereka termasuk auliya’us syaithan (para wali syetan). Dan kami nasihatkan kamu membaca kitab Al-Furqon baina auliya’ir Rahman wa Auliya’is Syaithan, dan Kitab Iqtidhous Shirothil Mustaqiem Limukholafati Ash-habil Jahiem, keduanya oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah.
Ketiga: Dari hal yang telah dikemukakan itu jelas bahwa tidak boleh bagi seorang muslim mengambil wirid-wirid mereka dan menjadikannya suatu wiridan baginya, tetapi cukup atasnya dengan yang telah disyari’atkan yaitu yang telah ada di dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Keempat: Adapun Kitab Dalail al-Khairat maka kami nasihatkan anda untuk meninggalkannya, karena di dalamnya mengandung perkara-perkara al-mubtada’ah was-syirkiyah (bid’ah dan kemusyrikan). Sedangkan yang ada di dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah terkaya darinya (tidak butuh dengan bid’ah dan kemusyrikan yang ada di dalam Kitab Dalail Al-Khairat itu).
Wabillahit taufiq. Washollallahu ‘alaa nabiyyinaa Muhammad, wa alihi washohbihi wasallam.
Al-Lajnah Ad-Da’imah lil-Buhuts al-‘Ilmiyyah wal Ifta’:
Ketua Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz, anggota Abdullah bin Ghadyan, anggota Abdullah bin Qu’ud.[17]
Dalam Kitab Dalail al-Khairat di antaranya ada shalawat bid’ah sebagai berikut:
اللهم صل على محمد حتى لايبقى من الصلاة شيء وارحم محمدا حتى لايبقى من الرحمة شيء .
“Ya Allah limpahkanlah keberkahan atas Muhammad, sehingga tak tersisa lagi sedikitpun dari keberkahan, dan rahmatilah Muhammad, sehingga tak tersisa sedikitpun dari rahmat.”
Lafadh bacaan shalawat dalam Kitab Dalail Al-Khairat di atas menjadikan keberkahan dan rahmat, yang keduanya merupakan bagian dari sifat-sifat Allah, bisa habis dan binasa. Ucapan mereka itu telah terbantah oleh firman Allah (yang artinya):
“Katakanlah, ‘Kalau sekiranya lautan menjadi tinta untuk (menulis) kalimat-kalimat Tuhanku, sungguh habislah lautan itu sebelum habis (ditulis) kalimat-kalimat Tuhanku, meskipun Kami datangkan tambahan sebanyak itu (pula).” (Al-Kahfi: 109).[18]
Dari kenyataan usulan resmi NU kepada Raja Saudi Arabia yang ingin agar tetap dibolehkan membaca dzikir dan wiridan yang diamalkan oleh sebagian orang NU di antaranya do’a-do’a dalam Kitab Dalailul Khiarat (tentunya termasuk pula dzikir-dzikir aneka aliran thariqat/ tarekat), dan kenyataan fatwa ulama resmi Saudi Arabia, maka sangat bertentangan. NU menginginkan untuk dilestarikan dan dilindungi. Sedang ulama Saudi menginginkan agar ditinggalkan, karena mengandung bid’ah dan kemusyrikan, sedang penganjurnya yang disebut syaikh pun digolongkan wali syetan. Hanya saja kasusnya telah diputar sedemikian rupa, sehingga balasan surat Raja Saudi Arabia yang otentiknya seperti tercantum di atas, telah dimaknakan secara versi NU yang seolah misi NU itu sukses dalam hal direstui untuk mengembangkan hal-hal yang NU maui. Hingga surat Raja Saudi itu seolah jadi alat ampuh untuk menggencarkan apa yang oleh ulama Saudi disebut sebagai bid’ah dan kemusyrikan.
Di antara buktinya, bisa dilihat ungkapan yang ditulis tokoh NU, KH Saifuddin Zuhri sebagai berikut:
“Misi Kyai ‘Abdul Wahab Hasbullah ke Makkah mencapai hasil sangat memuaskan. Raja Ibnu Sa’ud berjanji, bahwa pelaksanaan dari ajaran madzhab Empat dan faham Ahlus Sunnah wal Jama’ah pada umumnya memperoleh perlindungan hukum di seluruh daerah kerajaan Arab Saudi. Siapa saja bebas mengembangkan faham Ahlus Sunnah wal Jama’ah ajaran yang dikembangkan oleh Empat Madzhab, dan siapa saja bebas mengajarkannya di Masjidil Haram di Makkah, di Masjid Nabawi di Madinah dan di manapun di seluruh daerah kerajaan.[19]
Apa yang disebut hasil sangat memuaskan, dan bebasnya mengembangkan Ahlus Sunnah wal Jama’ah itulah yang dipasarkan oleh NU di masyarakat dengan versinya sendiri. Sebagaimana pengakuan Abdurrahman Wahid, didirikannya NU itu untuk wadah berorganisasi dan mengamalkan ajaran Ahlus Sunnah wal Jama’ah versinya sendiri. Versinya sendiri yaitu yang memperjuangkan lestarinya tradisi mereka di antaranya yang telah diusulkan dengan nyata-nyata bukan hanya di dalam negeri tetapi sampai di Saudi Arabia yaitu pengamalan wirid Kitab Dalail Al-Khairat dan dzikir-dzikir lainnya model NU di antaranya tarekat-tarekat. Akibatnya, sekalipun ulama Saudi Arabia secara resmi mengecam amalan-amalan yang diusulkan itu ditegaskan sebagai amalan yang termasuk bid’ah dan kemusyrikan, namun di dalam negeri Indonesia, yang terjadi adalah sebaliknya. Seakan amalan-amalan itu telah mendapatkan “restu” akibat penyampaian-penyampaian kepada ummat Islam di Indonesia yang telah dibikin sedemikian rupa (bahwa misi utusan NU ke Makkah sukses besar dan direstui bebas untuk mengamalkan Ahlus Sunnah wal Jama’ah) sehingga amalan-amalan itu semakin dikembangkan dan dikokohkan secara organisatoris dalam NU. Bahkan secara resmi NU punya lembaga bernama Tarekat Mu’tabarah Nahdliyin didirikan 10 Oktober 1957 sebagai tindak lanjut keputusan Muktamar NU 1957 di Magelang. Belakangan dalam Muktamar NU 1979 di Semarang ditambahkan kata Nahdliyin, untuk menegaskan bahwa badan ini tetap berafiliasi kepada NU.[20]
Setelah bisa ditelusuri jejaknya dari semula hingga langkah-langkah selanjutnya, maka tampaklah apa yang mereka upayakan –dalam hal ini didirikannya NU itu untuk apa-- itu sebenarnya adalah untuk melestarikan dan melindungi amalan-amalan yang menjadi bidikan kaum pembaharu ataupun Muslimin yang konsekuen dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah. Tanpa adanya organisasi yang menjadi tempat berkumpul dan tempat berupaya bersama-sama secara maju bersama, maka amalan mereka yang selalu jadi sasaran bidik para pembaharu yang memurnikan Islam dari aneka bid’ah, khurafat, takhayul, dan bahkan kemusyrikan itu akan segera bisa dilenyapkan bagai lenyapnya kepercayaan Animisme yang sulit dikembang suburkan lagi. Menyadari akan sulitnya dan terancamnya posisi mereka ini baik di dalam negeri maupun di luar negeri terutama ancaman dari Saudi Arabia, maka mereka secara sukarela lebih merasa aman untuk bergandeng tangan dengan kafirin dan musyrikin, baik itu kafirin Ahli Kitab yaitu Yahudi dan Nasrani, maupun kafirin anti Kitab yaitu PKI (Komunis) dan anak cucunya, serta musyrikin yaitu Kong Hucu, Hindu, Budha; dan Munafiqin serta kelompok nasionalis sekuler anti syari’at Islam ataupun kelompok kiri anti Islam.
Untuk itulah dia lahir atau dilahirkan, sepanjang data dan fakta yang bisa dilihat dan dibuktikan, namun bukan berarti hanya untuk itu saja. Bagaimana pula kalau ini justru dijadikan alat oleh musuh Islam untuk kepentingan mereka?
--------------------------------------------------------------------------------
[1] Pada tahun 1924 kekhalifahan di Turki dihapuskan oleh pemerintahan Mustafa Kemal Attaturk yang sekuler dengan menamakan pemerintahannya Republik Turki, diproklamirkan 19 Oktober 1923. Langkah pertama sekulerisasi adalah penghapusan Islam sebagai agama resmi negara, kedua penghapusan lembaga kesultanan, dan berikutnya penghapusan kekhalifahan, menyusul digantinya syari’at Islam dengan hukum positif ala Barat. Lalu digantinya huruf Arab dengan huruf Latin dan dilarangnya “pakaian Arab”. Rakyat Turki, terutama aparat pemerintah, harus menggunakan pakaian ala Eropa. Bacaan ibadah harus menggunakan bahasa Turki, namun tidak berlangsung lama, karena protes datang dari berbagai ulama di dalam maupun luar negeri. (lihat Leksikon Islam, Pustazet Perkasa, Jakarta, 1988, jilid 2, halaman 733).
[2] Muktamar Dunia Islam itu disebut Kongres Khilafah yang akan diadakan di Kairo pada bulan Maret 1925. Kongres luar biasa di Surabaya (Desember 1924, yang diikuti Wahab Hasbullah tersebut di atas, pen) membicarakan perutusan Indonesia ke Kongres Khilafah di Kairo. Lalu dalam bulan Agustus 1925 diadakan kongres bersama SI (Sarikat Islam) – Al-Islam di Yogyakarta. Cokroaminoto (dari CSI) dan KH Mas Mansur (dari Muhammadiyah) ditunjuk sebagai utusan Komite Kongres Al-Islam yang akan diadakan pada 1 Juni 1926 di Makkah atas prakarsa Raja Ibn Sa’ud. Soal pemerintahan di Makkah dan Madinah akan menjadi acara. (Lihat Leksikon Islam, 1, halaman 340).
[3] Karel A. Steenbrink, Pesantren Madrasah Sekolah Pendidikan Islam dalam Kurun Moderen, LP3ES, Jakarta, cetakan pertama, 1986, halaman 67, merujuk pula pada Sekaly, Les deux congres generaux de 1926. Pada saat itu gelar Wahabi diberikan kepada semua kamum ”modernis”, yang tidak lagi mau terikat kepada mazhab tertentu. Orang Syafi’i takut, bahwa maqam Imam Syafi’i akan dibongkar dan bahwa ajarannya tidak lagi boleh diajarkan di Mekkah, padahal Mekkah untuk kelompok tradisional pada waktu itu tetap merupakan perguruan yang paling disukai.
[4] Steenbrink, ibid, halaman 68.
[5] H Endang Saifuddin Anshari, MA, Wawasan Islam, Rajawali, Jakarta, cetakan pertama, 1986, halaman 263- 264.
[6] Leksikon Islam, 2, halaman 520.
[7] M Said Budairy, 75 Tahun NU, Ujian Berat Khittah, Republika, Rabu 31 Januari 2001, halaman 6.
[8] Deliar Noer mengutip Bendera Islam, 22 Januari 1925. Konferensi tersebut ditunda oleh karena peperangan masih berkecamuk di Hijaz, sehingga akan sukar bagi negeri Arab ini untuk datang. Lagi pula, beberapa negeri Islam lain meminta panitia bersangkutan di Kairo untuk mendapat berbagai macam keterangan tentang konferensi dan agar mengirim missi ke negeri-negeri tersebut. Di samping itu Mesir juga menghadapi pemilihan umum.
[9] Deliar Noer, Gerakan Moderen Islam di Indonesia 1900-1942, LP3ES, Jakarta, cetakan ketiga, 1985, halaman 242-243.
[10] Menurut catatan Deliar Noer, ini merupakan koleksi do’a yang berasal dari seorang mistikus Afrika Utara di abad ke-15, Al-Jazuli. Taha Husein, seorang pengarang terkenal di Mesir dan pernah menjadi menteri pendidikan negeri tersebut, ketika masa mudanya menjadi murid Muhammad Abduh di Al-Azhar, pernah mengecam ayahnya membaca Dalail al-Khairat. Katanya ini menyebabkan “waktu terbuang secara bodoh”. Lihat Taha Husein, Al-Ayyam, II (Kairo: Dar al-Maarif, tiada tanggal), hal. 123. Lihat pula masalah Dalail al-Khairat pada buku yang Anda baca ini selanjutnya.
[11] Deliar Noer, ibid, halaman 243, mengutip Utusan Nahdlatul Ulama, Tahun I No. I (1 Rajab 1347H; yaitu 14 Desember 1928), hal 9.
[12] Deliar, ibid hal 244, mengutip Utusan Nahdlatul Ulama, ibid, hal 9.
[13] Deliar, ibid, hal 244.
[14] Deliar Noer, ibid, halaman 245
[15] Surat ini bertanggal 24 Zulhijjah 1346 H (13 Juni 1928), No 2082, Lihat Utusan Nahdlatul Ulama, Tahun 1, No 1, dikutip Deliar Noer, halaman 246.
[16] Al-Arkhabil, Tahun 5, vol 8, Sya’ban 1420H Nopember 1999, LIPIA, Jakarta, halaman 22.
[17] Fatwa Al-Lajnah Ad-Da’imah lilbuhuts al-‘ilmiyyah wal Ifta’, Darul ‘Ashimah, Riyadh, cetakan 3, 1419H, halaman 320-321.
[18] Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu, Minhajul Firqah an-Najiyah wat Thaifah al-Manshuroh, diterjemahkan Ainul Haris Umar Arifin Thayib Lc menjadi Jalan Golongan yang Selamat, Darul Haq, Jakarta, cetakan I, 1419H, 171-172.
[19] KH Saifuddin Zuhri, Sejarah kebangkitan Islam dan Perkembangannya di Indonesia, PT Al-Ma’arif, Bandung, cetakan ketiga, 1981, halaman 611.
[20] Hartono Ahmad Jaiz, Mendudukkan tasawuf, Gus Dur Wali? , Darul Falah, Jakarta, cetakan kedua, 1420H/ 2000M, halaman 121.
Oleh : Hartono Ahmad Jaiz
بسم الله الرحمن الرحيم
Untuk apa dan kenapa NU didirikan? Masalah ini sering jadi bahan pertanyaan bagi orang-orang, lebih-lebih ketika ada masalah-masalah yang janggal ataupun mencengangkan bagi masyarakat, sedang masalah itu timbul atau dilakukan oleh orang-orang NU. Bahkan di kalangan NU, hatta pemimpinnya ataupun elitnya pun perlu mencurahkan tenaga dan fikiran secara tersendiri untuk menjawab ataupun menangkis pandangan orang tentang untuk apa sebenarnya NU didirikan. Sebagaimana Abdurrahman Wahid telah berupaya menulis artikel untuk menangkis sebisa-bisanya tentang pandagan para sejarawan tentang berdirinya NU.
Oleh karena itu, setelah dikemukakan upaya Gus Dur/ Abdurrahman Wahid dalam menangkis pandangan para sejarawan, maka kini pada gilirannya ditampilkan penuturan para sejarawan mengenai kenapa NU didirikan.
Karel A. Steenbrink menulis seputar berdirinya NU sebagai berikut:
Ketika di Surabaya didirikan panitia yang berhubungan dengan penghapusan khalifah di Turki[1] Kyai Haji Abdul Wahab Hasbullah (yang nantinya mendirikan NU, pen) juga menjadi anggota bersama Mas Mansur (tokoh yang masuk persyarikatan Muhammadiyah sejak 1922, pen). Beberapa rencana panitia ini untuk menghadiri muktamar dunia Islam[2] tertunda, karena terjadi peperangan Wahabi di Saudi Arabia.
Beberapa waktu kemudian muktamar tersebut terlaksana meski dalam bentuk yang berbeda. Pada saat itu Kyai Haji Abdul Wahab Hasbullah mengundurkan diri dari kepanitiaan. Pengunduran diri itu disebabkan dia tidak jadi dikirim sebagai utusan karena pengetahuan bahasa yang kurang, di samping pengalaman dunia yang tidak cukup luas. Menurut kelompok lainnya, dia tidak dikirim karena dia akan membela kemerdekaan mazhab Syafi’i di kota Mekkah yang saat itu dikuasai Wahabi. Dan memang, yang dikirim ke Mekkah hanyalah mereka yang menolak taqlid dan dicap Wahabi, termasuk di antaranya Mas Mansur[3]
Karel A Steenbrink melanjutkan tulisannya: “Abdul Wahab Hasbullah kemudian membentuk panitia sendiri yang bernama “Comite merembuk Hijaz.” Bermula dari komite ini, pada tanggal 31 Januari 1926 didirikan Nahdlatul Ulama. Nahdlatul Ulama (NU) memang muncul sebagai protes terhadap gerakan reformasi, juga dari kebutuhan untuk mempunyai organisasi yang membela mazhab Syafi’i dan menyaingi organisasi Muhammadiyah dan Al-Irsyad. Memang, tiga tahun kemudian Wahab Hasbullah bersama kawan-kawannya dari NU berangkat ke Mekkah untuk membicarakan persoalan yang berhubungan dengan ibadat dan pengajaran agama menurut mazhab Syafi’i. Pada saat itu, Raja Ibnu Saud menjanjikan tidak akan bertindak terlalu keras dan memahami keinginan NU tersebut.”[4]
Kalau ungkapan itu dikemukakan oleh peneliti Belanda, ternyata persepsi yang hampir sama ditulis pula oleh peneliti Indonesia, H Endang Saifuddin Anshari MA seperti yang ia tulis:
“Pada tanggal 31 Januari 1926 Nahdlatul Ulama didirikan di Surabaya, di bawah pimpinan Syaikh Hasyim Asy’ari, sebagai reaksi terhadap gerakan pembaharuan yang dibawa terutama oleh Muhammadiyah dan lain-lain. Usahanya antara lain memperkembangkan dan mengikuti salah satu dari keempat mazhab fiqh. Tahun 1952 memisahkan diri dari Masyumi dan sejak itu resmi menjadi Partai Politik Islam.”[5]
Kegiatan politik praktis NU mulai surut ketika memfusikan diri ke dalam PPP (Partai Persatuan Pembangunan) 1973. Lalu ditegaskan bahwa NU bukan wadah bagi kegiatan politik praktis dalam Munas (Musyawarah Nasional)nya di Situbondo Jawa Timur 1983, dan diperkuat oleh Muktamar NU 1984 yang secara eksplisit menyebut NU meninggalkan kegiatan politik praktisnya.
Dalam Muktamar ke-27 di Situbondo, NU dengan tegas menerima asas tunggal Pancasila dan menyatakan kembali kepada khittah 1926 yang berarti meninggalkan kegiatan politik praktis.[6]
Perkembangan berikutnya, pada bulan Juni 1998, PBNU memfasilitasi lahirnya PKB (Partai Kebangkitan Bangsa). Kebijakan tersebut mengundang pro dan kontra di kalangan warga NU sendiri. Akibatnya, lahirlah Partai Nahdlatul Ummat (PNU), Partai Kebangkitan Umat (PKU), dan Partasi Solidaritas Uni Nasional Indonesia (SUNI). Sementara itu, sebagian cukup besar warga NU yang lain tetap bertahan di Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Partai Golkar.
Perkembangan berikutnya lagi, Ketua Umum PBNU Abdurrahman Wahid terpilih sebagai Presiden RI. Melalui Muktamar pada Nopember 1999, Abdurrahman Wahid lengser sebagai ketua umum PBNU, yang telah dijabatnya selama 15 tahun. Kepemimpinan beralih dari ‘duet’ KH Ilyas Rucjhiat-KH Abdurrahman Wahid ke tangan KHMA Sahal Mahfudz- (Rais Aam Syuriyah PBNU)-KH Hasyim Muzadi (Ketua Umum Tanfidziyah PBNU).[7]
Musykilat seputar berdirinya NU
Kembali pada persoalan awal, Untuk melacak lebih cermat tentang sebenarnya untuk apa didirikannya NU, perlu disimak apa yang ditulis oleh Dr Deliar Noer. Menurutnya, penghapusan kekhalifahan di Turki menimbulkan kebingungan pada dunia Islam pada umumnya, yang mulai berfikir tentang pembentukan suatu khilafat baru. Masyarakat Islam Indonesia bukan saja berminat dalam masalah ini, malah merasa berkewajiban memperbincangkan dan mencari penyelesaiannya. Kebetulan Mesir bermaksud mengadakan kongres tentang khilafat pada bulan Maret 1924, dan sebagai sambutan atas maksud ini suatu Komite Khilafat didirikan di Surabaya tanggal 4 Oktober 1924 dengan ketua Wondosudirdjo (kemudian dikenal dengan nama Wondoamiseno) dari Sarekat Islam dan wakil ketua KHA Wahab Hasbullah. Kongres Al-Islam ketiga di Surabaya bulan Desember 1924 antara lain memutuskan untuk mengirim sebuah delegasi ke Kongres Kairo, terdiri dari Surjopranoto (Saerkat Islam), Haji Fachruddin (Muhammadiyah) serta KHA Wahab dari kalangan tradisi.
Tetapi kongres di Kairo itu ditunda[8], sedangkan minat orang-orang Islam di Jawa tertarik lagi pada perkembangan di Hijaz di mana Ibnu Sa’ud berhasil mengusir Syarif Husein dari Mekkah tahun 1924. Segera setelah menangani ini pemimpin Wahabi itu mulai melakukan pembersihan dalam kebiasaan praktek beragama sesuai dengan ajarannya, walaupun ia tidak melarang pelajaran mazhab di Masjid al-Haram. Tindakannya ini sebagian mendapat sambutan baik di Indonesia, tetapi sebagian juga ditolak. Tetapi dengan kemenangan Ibnu Sa’ud ini, baik Mekkah maupun Kairo berebut kedudukan khalifah.[9]
Suatu undangan dari Ibnu Sa’ud kepada kaum Islam di Indoesia untuk menghadiri kongres di Mekkah dibicarakan di kongres Al-Islam keempat di Yogyakarta (21-27 Agustus 1925) dan di kongres Al-Islam kelima di Bandung (6 Februari 1926). Kedua kongres ini kelihatannya didominasi oleh golongan pembaharu Islam. Malah sebelum kongres di Bandung suatu rapat antara organisasi-organisasi pembaharu di Cianjur, Jawa Barat (8-10 Januari 1926) telah memutuskan untuk mengirim Tjokroaminoto dari Sarekat Islam dan Kiyai Haji Mas Mansur dari Muhammadiyah ke Mekkah untuk mengikuti kongres.
Pada kongres di Bandung yang memperkuat keputusan rapat di Cianjur, KHA Abdul Wahab (Hasbullah, pen) atas nama kalangan tradisi memajukan usul-usul agar kebiasaan-kebiasaan agama seperti membangun kuburan, membaca do’a seperti dalail al-khairat[10], ajaran mazhab, dihormati oleh kepala negeri Arab yang baru dalam negaranya, termasuk di Mekkah dan Madinah. Kongres di Bandung itu tidak menyambut baik usul-usul (Wahab Hasbullah) ini, sehingga Wahab dan tiga orang penyokongnya keluar dari Komite Khilafat tersebut di atas. Wahab selanjutnya mengambil inisiatif untuk mengadakan rapat-rapat kalangan ulama Kaum Tua, mulanya ulama dari Surabaya, kemudian juga dari Semarang, Pasuruan, Lasem dan Pati. Mereka bersepakat untuk mendirikan suatu panitia yang disebut Komite Merembuk Hijaz. Komite inilah yang diubah menjadi Nahdlatul Ulama pada suatu rapat di Surabaya tanggal 31 Januari 1926. Rapat ini masih tetap menempatkan masalah Hijaz sebagai pokok pembicaran utama.[11]
Deliar Noer menjelaskan suara Kaum Tua (NU, organisasi baru muncul) sebagai berikut:
Bani Sa’ud An-Nadjdi di zaman dahulu terkenal dengan aliran Wahabi yang dipelopori oleh Muhammad bin Abdul Wahab, menurut kitab-kitab tarikh... Belum lagi diketahui dengan pasti aliran apa yang dianut Raja Sa’ud sekarang (masih Wahabi atau bermazhab empat), tetapi khabar mutawatir menyebutkan mereka merusak pada qubah-qubah, melarang Dalail al-Khairat dan sebagainya.
...Kita kaum Muslimin, meskipun kaum tua, juga ada merasa ada mempunyai hak yang berhubungan dengan tanah (suci) dalam hal agama, karena di situ ada Qiblat dan (tempat) kepergian haji kita dan beberapa bekas-bekas Nabi kita bahkan quburannya juga. Walhal, kita ada anggap Sunnat-Muakkad ziarah di mana qubur tersebut.[12]
Organiasi baru ini (NU) menekankan keterikatannya pada mazhab Syafi’i dan memutuskan untuk berusaha sungguh-sungguh guna menjaga langsungnya kebiasaan bermazhab di Mekkah dan di Indonesia. Sebaliknya dikatakan bahwa tidak terkandung maskud apapun untuk menghalangi mereka yang tidak mau mengikuti mazhab Syafi’i.
Rapat (komite Hijaz/ NU) bulan Januari 1926 itu memutuskan untuk mengirim dua orang utusan menghadap Raja Ibnu Sa’ud untuk mempersembahkan pendapat organisasi tentang masalah mazhab, serta juga mengadakan seruan kepada raja tersebut untuk mengambil langkah-langkah guna kepentingan mazhab serta memperbaiki keadaan perjalanan haji.(Utusan itu akan terdiri dari Kiyai Haji Khalil dari Lasem dan Kiyai Haji Abdul Wahab dari Surabaya. Menurut Bintang Islam, IV, 1926, No 6, hal 96-98, Nahdlatul Ulama akan meminta Ibnu Sa’ud agar:
... tidak melarang kepada siapapun orang yang menjalankan mazhab Syafi’i.
...melarang atau sehingga menyiksa barang siapa yang mengganggu atau menghalang-halangi perjalanannya mazhab Syafi’i.
...menetap adakan angkatan ziarah ke Medinah al-Munawarah dan ziarah di beberapa quburnya syuhada dan bekas-bekas mereka itu.
...tidak mengganggu orang yang menjalankan wirid zikir yang benar atau wirid membaca Dalail al-Khairat atau Burdah atau mengaji kitab fiqh mazhab Syafi’i, seperti Tuhfah, Nihayah, Bajah.
... memelihara qubur Rasulullah saw sebagaimana yang sudah-sudah.
...jangan sampai merusak qubah-qubahnya syuhada...dan qubahnya aulia atau ulama...
...mengadakan tarif biaya barang-barang atau orang-orang yang masuk pada pelabuhan Jeddah dan tarif ongkos-ongkosnya orang haji mulai Jeddah terus Madinah...
...melarang Syeikh-syeikh haji Mekkah turun (datang) ke Tanah Jawa perlu mencari jama’ah haji sebab jalan yang demikian itu menghilangkan kehebatan Tanah Mekah dan kemudian umumnya orang-orang Mekkah, serta menjadikan tambahnya ongkos-ongkos...., lebih utama dalam pemerintahan mengadakan satu Komite pengurus haji di Mekkah).[13]
Suatu odiensi dengan Raja Ibnu Sa’ud juga diminta dengan perantaraan Konsulat Belanda di Jeddah, tetapi kedua orang utusan itu tak dapat berangkat karena terlambat memesan tempat di kapal. Sebagai gantinya Nahdlatul Ulama mengawatkan isi keputusan rapat mereka kepada kepala negara Saudi dengan tambahan permintaan agar isi keputusan ini dapat dimasukkan ke dalam undang-undang Hijaz.
Tidak ada jawaban terhadap permintaan ini. Dalam pada itu Nahdlatul Ulama beranggapan bahwa kongres Islam di Mekkah tahun 1926 yang dihadiri oleh Tjokroaminoto dan Mansur sebagai suatu “kegagalan” oleh sebab itu tidak ada sebuah pun masalah agama dibicarakan.
Tak lama sesudah kongres Al-Islam keenam di Surabaya dalam bulan September 1926 (kongres ini mengubah kedudukannya menjadi cabang kongres Islam di Mekkah), Nahdlatul Ulama melahirkan sikap tidak setujunya dengan kongres tersebut serta terhadap pemerintahan Ibnu Sa’ud. Organisasi ini (NU) malah menghasut kaum Muslimin agar membenci ajaran Wahabi serta penguasanya di Tanah Suci, dan menyarankan orang-orang agar jangan pergi naik haji.[14]
Tetapi pada tahun berikutnya Nahdlatul Ulama mengutus delegasi ke Mekkah. Pada tanggal 27 Maret 1928 Nahdlatul Ulama mengumumkan bahwa Abdul Wahab dan Ustadz Ahmad Ghanaim Al-Amir (Al-Misri) akan pergi ke Mekkah sebagai perutusan mereka. Dalam bulan itu juga keduanya berangkat; Abdul Wahab singgah di Singapur untuk mempropagandakan pendiriannya di kalangan orang Islam di Pulau itu, dan sampai di Tanah Suci tanggal 17 April 1928. Pada tanggal 13 Juni 1928 mereka diterima oleh Raja. Pada kesempatan ini kedua utusan tersebut juga meminta Raja Ibnu Sa’ud agar membuat hukum yang tetap di Hijaz. Mereka mohon jawaban terhadap seruan mereka.
Dalam jawabannya, berupa surat, Raja mengatakan bahwa perbaikan di Hijaz memang merupakan kewajiban tiap pemerintahan di negeri itu. Ia menambahkan akan memperbaiki keadaan perjalanan haji sejauh perbaikan ini tidak melanggar ketentuan Islam. Ia juga sependapat bahwa kaum Muslimin bebas dalam menjalankan poraktek agama dan keyakinan mereka, kecuali urusan yang Tuhan Allah mengharamkan dan tiada terdapat sesuatu dalil dari Kitab-Nya Tuhan Allah dan tiada sunnat Rasulullah saw, dan tidak ada dalam mazhabnya orang dulu-dulu yang saleh-saleh, dan tidak dari sabda salah satu imam empat.[15]
Surat resmi balasan Raja Saudi kepada NU
Untuk menghindari berbagai interpretasi dari berita-berita yang berkembang tentang isi surat Raja Ibn Sa’ud, baik dari kalangan NU maupun non NU, maka di sini dikutip secara utuh surat resmi Raja Saudi kepada NU:
بسم الله الرحمن الرحيم
KERAJAAN HIJAZ, NEJD DAN SEKITARNYA
Nomor: 2082 – Tanggal 24 Dzulhijjah 1346H.
Dari : Abdul Aziz bin Abdur Rahman Al-Faisal
Kepada Yth. Ketua Organisasi Nahdlatul Ulama di Jawa
Syaikh Muhammad Hasyim Asy’ari dan Sekretarisnya Syaikh Alawi bin Abdul Aziz ( semoga Allah melindungi mereka).
السلام عليكم ورحمة الله وبركاته.
Surat saudara tertanggal 5 Syawwal 1346H telah sampai kepada kami. Apa yang saudara sebutkan telah kami fahami dengan baik, terutama tentang rasa iba saudara terhadap urusan ummat Islam yang menjadi perhatian suadara, dan delegasi yang saudara tugaskan yaitu H. Abdul Wahab, Sekretaris I PBNU, dan Ustadz Syaikh Ahmad Ghanaim Al-Amir, Penasihat PBNU telah kami terima dengan membawa pesan-pesan dari saudara.
Adapun yang berkenaan dengan usaha mengatur wilayah Hijaz, maka hal itu merupakan urusan dalam negeri Kerajaan Saudi Arabia, dan Pemerintah dalam hal itu berusaha semaksimal mungkin untuk memberikan segala kemudahan bagi jemaah haji di Tanah Suci, dan tidak pernah melarang seorang pun untuk melakukan amal baik yang sesuai dengan Syari’at Islam.
Adapun yang berkenaan dengan kebebasan orang, maka hal itu adalah merupakan suatu kehormatan, dan alhamdulillah, semua Ummat Islam bebas melakukan urusan mereka, kecuali dalam hal-hal yang diharamkan Allah, dan tidak ada dalil yang menghalalkan perbuatan tersebut, baik dari Al-Qur’an, Sunnah, Mazhab Salaf Salih dan dari pendapat Imam empat Mazhab. Segala hal yang sesuai dengan ketentuan tersebut, kami lakukan dan kami laksanakan, sedang hal-hal yang menyelisihinya, maka tidak boleh taat untuk melakukan perbuatan maksiat kepada Allah Maha Pencipta.
Tujuan kita sebenarnya adalah da’wah kepada apa yang dalam Kitabullah dan Sunnah Rasulullah saw dan inilah agama yang kami lakukan kepada Allah. Alhamdulillah kami berjalan sesuai dengan faham ulama Salaf yang Salih, mulai dari Sahabat Nabi hingga Imam empat Mazhab.
Kami memohon kepada Allah semoga memberi taufiq kepada kita semua ke jalan kebaikan dan kebenaran serta hasil yang baik. Inilah yang perlu kami jelaskan. Semoga Allah melindungi saudara semua.
السلام عليكم ورحمة الله وبركاته.
Tanda tangan dan stempel[16]
Demikianlah surat Raja Abdul Aziz membalas surat Ketua PBNU, 13 Juni 1928, 24 Dzulhijjah 1346H.
Masalah Kitab Dalail al-Khairat
Nahdlatul Ulama, baik secara perorangan kiyai-kiyainya maupun secara organisasi, dalam sejarahnya telah dengan gigih mempertahankan wiridan dengan membaca Kitab Dalail al-Khairat. “Perjuangan” mereka itu bukan hanya di Indonesia di depan kalangan kaum pembaharu, namun bahkan sampai ke Raja Saudi dengan jalan mengirimkan surat yang di antara isinya mempertahankan wiridan dari kitab karangan orang mistik./ shufi dari Afrika Utara, Al-Jazuli itu. Meskipun demikian, kaum pembaharu di Indonesia tidak menggubris upaya-upaya kaum Nahdliyin/ NU itu. Demikian pula Raja Saudi tidak menjawabnya secara khusus tentang Kitab Dalail al-Khairat itu.
Untuk memudahkan pembaca, maka di sini diturunkan fatwa tentang boleh tidaknya membaca atau mewiridkan Kitab Dalail al-Khairat itu dari Lajnah Daimah kantor Penelitian Ilmiyah dan Fatwa di Riyadh. Ada pertanyaan dan kemudian ada pula jawabannya, dikutip sebagai berikut:
Soal kelima dari Fatwa nomor 2392:
Soal 5: Apa hukum wirid-wirid auliya’ (para wali) dan shalihin (orang-orang shalih) seperti mazhab Qadyaniyah dan Tijaniyah dan lainnya? Apakah boleh memeganginya ataukah tidak, dan apa hukum Kitab Dalail al-Khairat?
Jawab 5: Pertama: Telah terdapat di dalam Al-Qur’an dan Al-Hadits nash-nash (teks) yang mengandung do’a-do’a dan dzikir-dzikir masyru’ah (yang disyari’atkan). Dan sebagian ulama telah mengumpulkan satu kumpulan do’a dan dzikir itu, seperti An-Nawawi dalam kitabnya al-Adzkar , Ibnu as-Sunni dalam Kitab ‘Amalul Yaum wallailah, dan Ibnul Qayyim dalam Kitab Al-Wabil As-Shoib, dan kitab-kitab sunnah yang mengandung bab-bab khusus untuk do’a-do’a dan dzikir-dzikir, maka wajib bagimu merujuk padanya.
Kedua: Auliya’ (para wali) yang shalih adalah wali-wali Allah yang mengikuti syari’at-Nya baik secara ucapan, perbuatan, maupun i’tikad (keyakinan). Dan adapun kelompok-kelompok sesat seperti At-Tijaniyyah maka mereka itu bukanlah termasuk auliya’ullah (para wali Allah). Tetapi mereka termasuk auliya’us syaithan (para wali syetan). Dan kami nasihatkan kamu membaca kitab Al-Furqon baina auliya’ir Rahman wa Auliya’is Syaithan, dan Kitab Iqtidhous Shirothil Mustaqiem Limukholafati Ash-habil Jahiem, keduanya oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah.
Ketiga: Dari hal yang telah dikemukakan itu jelas bahwa tidak boleh bagi seorang muslim mengambil wirid-wirid mereka dan menjadikannya suatu wiridan baginya, tetapi cukup atasnya dengan yang telah disyari’atkan yaitu yang telah ada di dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Keempat: Adapun Kitab Dalail al-Khairat maka kami nasihatkan anda untuk meninggalkannya, karena di dalamnya mengandung perkara-perkara al-mubtada’ah was-syirkiyah (bid’ah dan kemusyrikan). Sedangkan yang ada di dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah terkaya darinya (tidak butuh dengan bid’ah dan kemusyrikan yang ada di dalam Kitab Dalail Al-Khairat itu).
Wabillahit taufiq. Washollallahu ‘alaa nabiyyinaa Muhammad, wa alihi washohbihi wasallam.
Al-Lajnah Ad-Da’imah lil-Buhuts al-‘Ilmiyyah wal Ifta’:
Ketua Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz, anggota Abdullah bin Ghadyan, anggota Abdullah bin Qu’ud.[17]
Dalam Kitab Dalail al-Khairat di antaranya ada shalawat bid’ah sebagai berikut:
اللهم صل على محمد حتى لايبقى من الصلاة شيء وارحم محمدا حتى لايبقى من الرحمة شيء .
“Ya Allah limpahkanlah keberkahan atas Muhammad, sehingga tak tersisa lagi sedikitpun dari keberkahan, dan rahmatilah Muhammad, sehingga tak tersisa sedikitpun dari rahmat.”
Lafadh bacaan shalawat dalam Kitab Dalail Al-Khairat di atas menjadikan keberkahan dan rahmat, yang keduanya merupakan bagian dari sifat-sifat Allah, bisa habis dan binasa. Ucapan mereka itu telah terbantah oleh firman Allah (yang artinya):
“Katakanlah, ‘Kalau sekiranya lautan menjadi tinta untuk (menulis) kalimat-kalimat Tuhanku, sungguh habislah lautan itu sebelum habis (ditulis) kalimat-kalimat Tuhanku, meskipun Kami datangkan tambahan sebanyak itu (pula).” (Al-Kahfi: 109).[18]
Dari kenyataan usulan resmi NU kepada Raja Saudi Arabia yang ingin agar tetap dibolehkan membaca dzikir dan wiridan yang diamalkan oleh sebagian orang NU di antaranya do’a-do’a dalam Kitab Dalailul Khiarat (tentunya termasuk pula dzikir-dzikir aneka aliran thariqat/ tarekat), dan kenyataan fatwa ulama resmi Saudi Arabia, maka sangat bertentangan. NU menginginkan untuk dilestarikan dan dilindungi. Sedang ulama Saudi menginginkan agar ditinggalkan, karena mengandung bid’ah dan kemusyrikan, sedang penganjurnya yang disebut syaikh pun digolongkan wali syetan. Hanya saja kasusnya telah diputar sedemikian rupa, sehingga balasan surat Raja Saudi Arabia yang otentiknya seperti tercantum di atas, telah dimaknakan secara versi NU yang seolah misi NU itu sukses dalam hal direstui untuk mengembangkan hal-hal yang NU maui. Hingga surat Raja Saudi itu seolah jadi alat ampuh untuk menggencarkan apa yang oleh ulama Saudi disebut sebagai bid’ah dan kemusyrikan.
Di antara buktinya, bisa dilihat ungkapan yang ditulis tokoh NU, KH Saifuddin Zuhri sebagai berikut:
“Misi Kyai ‘Abdul Wahab Hasbullah ke Makkah mencapai hasil sangat memuaskan. Raja Ibnu Sa’ud berjanji, bahwa pelaksanaan dari ajaran madzhab Empat dan faham Ahlus Sunnah wal Jama’ah pada umumnya memperoleh perlindungan hukum di seluruh daerah kerajaan Arab Saudi. Siapa saja bebas mengembangkan faham Ahlus Sunnah wal Jama’ah ajaran yang dikembangkan oleh Empat Madzhab, dan siapa saja bebas mengajarkannya di Masjidil Haram di Makkah, di Masjid Nabawi di Madinah dan di manapun di seluruh daerah kerajaan.[19]
Apa yang disebut hasil sangat memuaskan, dan bebasnya mengembangkan Ahlus Sunnah wal Jama’ah itulah yang dipasarkan oleh NU di masyarakat dengan versinya sendiri. Sebagaimana pengakuan Abdurrahman Wahid, didirikannya NU itu untuk wadah berorganisasi dan mengamalkan ajaran Ahlus Sunnah wal Jama’ah versinya sendiri. Versinya sendiri yaitu yang memperjuangkan lestarinya tradisi mereka di antaranya yang telah diusulkan dengan nyata-nyata bukan hanya di dalam negeri tetapi sampai di Saudi Arabia yaitu pengamalan wirid Kitab Dalail Al-Khairat dan dzikir-dzikir lainnya model NU di antaranya tarekat-tarekat. Akibatnya, sekalipun ulama Saudi Arabia secara resmi mengecam amalan-amalan yang diusulkan itu ditegaskan sebagai amalan yang termasuk bid’ah dan kemusyrikan, namun di dalam negeri Indonesia, yang terjadi adalah sebaliknya. Seakan amalan-amalan itu telah mendapatkan “restu” akibat penyampaian-penyampaian kepada ummat Islam di Indonesia yang telah dibikin sedemikian rupa (bahwa misi utusan NU ke Makkah sukses besar dan direstui bebas untuk mengamalkan Ahlus Sunnah wal Jama’ah) sehingga amalan-amalan itu semakin dikembangkan dan dikokohkan secara organisatoris dalam NU. Bahkan secara resmi NU punya lembaga bernama Tarekat Mu’tabarah Nahdliyin didirikan 10 Oktober 1957 sebagai tindak lanjut keputusan Muktamar NU 1957 di Magelang. Belakangan dalam Muktamar NU 1979 di Semarang ditambahkan kata Nahdliyin, untuk menegaskan bahwa badan ini tetap berafiliasi kepada NU.[20]
Setelah bisa ditelusuri jejaknya dari semula hingga langkah-langkah selanjutnya, maka tampaklah apa yang mereka upayakan –dalam hal ini didirikannya NU itu untuk apa-- itu sebenarnya adalah untuk melestarikan dan melindungi amalan-amalan yang menjadi bidikan kaum pembaharu ataupun Muslimin yang konsekuen dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah. Tanpa adanya organisasi yang menjadi tempat berkumpul dan tempat berupaya bersama-sama secara maju bersama, maka amalan mereka yang selalu jadi sasaran bidik para pembaharu yang memurnikan Islam dari aneka bid’ah, khurafat, takhayul, dan bahkan kemusyrikan itu akan segera bisa dilenyapkan bagai lenyapnya kepercayaan Animisme yang sulit dikembang suburkan lagi. Menyadari akan sulitnya dan terancamnya posisi mereka ini baik di dalam negeri maupun di luar negeri terutama ancaman dari Saudi Arabia, maka mereka secara sukarela lebih merasa aman untuk bergandeng tangan dengan kafirin dan musyrikin, baik itu kafirin Ahli Kitab yaitu Yahudi dan Nasrani, maupun kafirin anti Kitab yaitu PKI (Komunis) dan anak cucunya, serta musyrikin yaitu Kong Hucu, Hindu, Budha; dan Munafiqin serta kelompok nasionalis sekuler anti syari’at Islam ataupun kelompok kiri anti Islam.
Untuk itulah dia lahir atau dilahirkan, sepanjang data dan fakta yang bisa dilihat dan dibuktikan, namun bukan berarti hanya untuk itu saja. Bagaimana pula kalau ini justru dijadikan alat oleh musuh Islam untuk kepentingan mereka?
--------------------------------------------------------------------------------
[1] Pada tahun 1924 kekhalifahan di Turki dihapuskan oleh pemerintahan Mustafa Kemal Attaturk yang sekuler dengan menamakan pemerintahannya Republik Turki, diproklamirkan 19 Oktober 1923. Langkah pertama sekulerisasi adalah penghapusan Islam sebagai agama resmi negara, kedua penghapusan lembaga kesultanan, dan berikutnya penghapusan kekhalifahan, menyusul digantinya syari’at Islam dengan hukum positif ala Barat. Lalu digantinya huruf Arab dengan huruf Latin dan dilarangnya “pakaian Arab”. Rakyat Turki, terutama aparat pemerintah, harus menggunakan pakaian ala Eropa. Bacaan ibadah harus menggunakan bahasa Turki, namun tidak berlangsung lama, karena protes datang dari berbagai ulama di dalam maupun luar negeri. (lihat Leksikon Islam, Pustazet Perkasa, Jakarta, 1988, jilid 2, halaman 733).
[2] Muktamar Dunia Islam itu disebut Kongres Khilafah yang akan diadakan di Kairo pada bulan Maret 1925. Kongres luar biasa di Surabaya (Desember 1924, yang diikuti Wahab Hasbullah tersebut di atas, pen) membicarakan perutusan Indonesia ke Kongres Khilafah di Kairo. Lalu dalam bulan Agustus 1925 diadakan kongres bersama SI (Sarikat Islam) – Al-Islam di Yogyakarta. Cokroaminoto (dari CSI) dan KH Mas Mansur (dari Muhammadiyah) ditunjuk sebagai utusan Komite Kongres Al-Islam yang akan diadakan pada 1 Juni 1926 di Makkah atas prakarsa Raja Ibn Sa’ud. Soal pemerintahan di Makkah dan Madinah akan menjadi acara. (Lihat Leksikon Islam, 1, halaman 340).
[3] Karel A. Steenbrink, Pesantren Madrasah Sekolah Pendidikan Islam dalam Kurun Moderen, LP3ES, Jakarta, cetakan pertama, 1986, halaman 67, merujuk pula pada Sekaly, Les deux congres generaux de 1926. Pada saat itu gelar Wahabi diberikan kepada semua kamum ”modernis”, yang tidak lagi mau terikat kepada mazhab tertentu. Orang Syafi’i takut, bahwa maqam Imam Syafi’i akan dibongkar dan bahwa ajarannya tidak lagi boleh diajarkan di Mekkah, padahal Mekkah untuk kelompok tradisional pada waktu itu tetap merupakan perguruan yang paling disukai.
[4] Steenbrink, ibid, halaman 68.
[5] H Endang Saifuddin Anshari, MA, Wawasan Islam, Rajawali, Jakarta, cetakan pertama, 1986, halaman 263- 264.
[6] Leksikon Islam, 2, halaman 520.
[7] M Said Budairy, 75 Tahun NU, Ujian Berat Khittah, Republika, Rabu 31 Januari 2001, halaman 6.
[8] Deliar Noer mengutip Bendera Islam, 22 Januari 1925. Konferensi tersebut ditunda oleh karena peperangan masih berkecamuk di Hijaz, sehingga akan sukar bagi negeri Arab ini untuk datang. Lagi pula, beberapa negeri Islam lain meminta panitia bersangkutan di Kairo untuk mendapat berbagai macam keterangan tentang konferensi dan agar mengirim missi ke negeri-negeri tersebut. Di samping itu Mesir juga menghadapi pemilihan umum.
[9] Deliar Noer, Gerakan Moderen Islam di Indonesia 1900-1942, LP3ES, Jakarta, cetakan ketiga, 1985, halaman 242-243.
[10] Menurut catatan Deliar Noer, ini merupakan koleksi do’a yang berasal dari seorang mistikus Afrika Utara di abad ke-15, Al-Jazuli. Taha Husein, seorang pengarang terkenal di Mesir dan pernah menjadi menteri pendidikan negeri tersebut, ketika masa mudanya menjadi murid Muhammad Abduh di Al-Azhar, pernah mengecam ayahnya membaca Dalail al-Khairat. Katanya ini menyebabkan “waktu terbuang secara bodoh”. Lihat Taha Husein, Al-Ayyam, II (Kairo: Dar al-Maarif, tiada tanggal), hal. 123. Lihat pula masalah Dalail al-Khairat pada buku yang Anda baca ini selanjutnya.
[11] Deliar Noer, ibid, halaman 243, mengutip Utusan Nahdlatul Ulama, Tahun I No. I (1 Rajab 1347H; yaitu 14 Desember 1928), hal 9.
[12] Deliar, ibid hal 244, mengutip Utusan Nahdlatul Ulama, ibid, hal 9.
[13] Deliar, ibid, hal 244.
[14] Deliar Noer, ibid, halaman 245
[15] Surat ini bertanggal 24 Zulhijjah 1346 H (13 Juni 1928), No 2082, Lihat Utusan Nahdlatul Ulama, Tahun 1, No 1, dikutip Deliar Noer, halaman 246.
[16] Al-Arkhabil, Tahun 5, vol 8, Sya’ban 1420H Nopember 1999, LIPIA, Jakarta, halaman 22.
[17] Fatwa Al-Lajnah Ad-Da’imah lilbuhuts al-‘ilmiyyah wal Ifta’, Darul ‘Ashimah, Riyadh, cetakan 3, 1419H, halaman 320-321.
[18] Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu, Minhajul Firqah an-Najiyah wat Thaifah al-Manshuroh, diterjemahkan Ainul Haris Umar Arifin Thayib Lc menjadi Jalan Golongan yang Selamat, Darul Haq, Jakarta, cetakan I, 1419H, 171-172.
[19] KH Saifuddin Zuhri, Sejarah kebangkitan Islam dan Perkembangannya di Indonesia, PT Al-Ma’arif, Bandung, cetakan ketiga, 1981, halaman 611.
[20] Hartono Ahmad Jaiz, Mendudukkan tasawuf, Gus Dur Wali? , Darul Falah, Jakarta, cetakan kedua, 1420H/ 2000M, halaman 121.
Oleh : Hartono Ahmad Jaiz
Langganan:
Postingan (Atom)